Nov 25, 2011

Seseorang Menunggumu dalam Hujan


Seseorang menunggumu dalam hujan,
membiarkan rintik membasahi waktu tiada menentu.

Dalam sepasang matanya terkunci rindu tanpa lekang
oleh malam temaram,

dalam genggamannya sepenggal puisi larut bersama harum kesturi.

Barangkali rindu adalah kata kata yang tak mampu
mencapai ujung bibir maupun ujung jari.

Keluarlah, seseorang menunggumu dalam hujan,
membiarkan dirinya ditelan mimpi dari tahun tahun silam.


1 Oktober 2011

Nov 14, 2011

Wayang dan Sastra Sekarang


/1/
Sebagai salah satu hasil dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, wayang menjadi suatu kesenian yang banyak mempengaruhi bentuk-bentuk kesenian lainnya. Secara harfiah, wayang berasal dari kata bayang, sesuai dengan cara pementasan wayang kulit yang menggunakan layar (kelir) dan pelita (blencong), meskipun dalam perkembangannya jenis wayang semakin beraneka; wayang golek, wayang klithik, dan lain-lain.
Wayang, selain sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan, juga merujuk pada cerita yang dilakonkan dalam wayang itu sendiri, yang sering disebut dengan cerita pewayangan, seperti Mahabbaratha dan Ramayana yang begitu melegenda. Dua judul yang selalu menjadi cerita besar dalam pertunjukan wayang ini berasal dari India, akan tetapi cerita-ceritanya juga dikenal dan tersebar luas di tanah Jawa dan menjadi semacam mitologi.
Pada paragraf sebelumnya, saya menyebutkan bahwa wayang menjadi suatu bentuk kesenian yang banyak mempengaruhi bentuk-bentuk kesenian lainnya. Hal ini jelas, karena wayang menjadi salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling banyak dieksplorasi dan diadaptasi ke dalam bentuk-bentuk seni lain, misalnya, yang dalam hal ini paling banyak mengadaptasi kisah-kisah pewayangan, yaitu seni sastra.
Eksistensi wayang muncul dalam bentuk narasi, dialog, dan tokoh-tokoh yang dianggap dapat menjadi simbol suatu karakter, yang dalam hal ini menurut Sears merupakan ”anggur baru dalam botol lama”, yaitu cerita wayang dan pertunjukan wayang selalu sudah kosong, tengah menunggu untuk diisi lagi oleh pendongeng baru dengan cerita baru, sehingga cerita wayang akan selalu ada menghiasi wajah sastra kontemporer, tentu saja dengan kisah dan pesan-pesan yang selalu baru.

/2/
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, wayang merupakan suatu mitologi yang hingga saat ini, meskipun sulit ditentukan apakah cerita-cerita –bahkan tokoh-tokoh dalam wayang itu sendiri pernah benar-benar ada atau tidak, tetap diyakini oleh masyarakat dan seringkali dijadikan pedoman. Hal ini wajar, sebab cerita wayang mengandung banyak nilai moral yang sebenarnya tidak hanya bisa didapat dari kitab dan sumber literatur lain saja.
Sebagai suatu mitologi yang diceritakan secara lisan, didengar, dan diolah bersama oleh suatu masyarakat secara kolektif, wayang, menurut Mangunwijaya, menjaga integritas dan ikatan bersama; melangsungkan pola dan konsep-konsep kesemestaan yang diakui selaku standar warisan yang dianggap abadi. Hal inilah yang merupakan salah satu dari sekian banyak alasan yang menyebabkan wayang selalu dapat bertahan dari masa ke masa, meskipun beberapa di antaranya harus mengalami perubahan di sana-sini.
Sebut saja Sindhunata, yang menggubah kisah Ramayana menjadi Anak bajang Menggiring Angin. Jika boleh disebutkan, isi dari Anak Bajang Menggiring Angin ini tidak jauh melenceng dari pakemnya, akan tetapi Sindhunata menulisnya kembali dengan kosa kata yang indah dan puitis, sehingga kita sebagai pembaca mendapatkan semacam produk baru dari Ramayana yang dikemas dengan lebih indah.
Adaptasi cerita wayang lainnya juga muncul dalam sastra Indonesia kontemporer berupa nama-nama yang diyakini dapat menjadi representatif dari tokoh yang diceritakan, misalnya nama Arjuna digunakan untuk tokoh yang memiliki paras tampan, Gandhari yang melambangkan cinta yang buta, Bima untuk tokoh yang memiliki badan besar, dan lain-lain. Belakangan saya menemukan bahwa sastra bergenre populer juga mulai mengadaptasi cerita pewayangan yang kemudian diplesetkan untuk memenuhi kebutuhan pasar, meskipun sebagian besar masih sebatas penamaan tokoh-tokoh dan garis besar ceritanya saja, bahkan terkadang cerita yang disajikan sangat melenceng dan berkebalikan dengan cerita pewayangan yang sesungguhnya, misalnya Arjuna Mencari Cinta dan Arjuna Wiwaha Ha Ha.
Berbicara mengenai tokoh pewayangan sebagai representatif suatu tokoh atau keadaan, pada tahun 1928 Roestam Effendi berhasil menggubah kisah Ramayana menjadi sebuah naskah drama berjudul Bebasari. Dalam Bebasari, secara umum kita dapat menemui kisah Ramayana seperti yang selama ini kita kenal. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, Bebasari sebenarnya adalah sebuah bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonial yang dirangkum dalam naskah drama pendek. Semua tokoh dalam Bebasari; Budjangga –yang berasal dari kata bujangan, Sita, dan Rawana, serta jalan ceritanya merupakan simbol-simbol yang diharapkan Roestam Effendi dapat dipahami masyarakat sebagai gambaran keadaan Indonesia pada saat itu.

Kakanda, dari zaman berganti zaman.
Tatap hatiku menanti tuan.
Kakanda bakal membawa merdeka.
Sebab tjintamu kepada loka.

(Bebasari, hlm. 59)

Selain Roestam Effendi, Sindhunata dalam novelnya, Perang, juga menjadikan kisah pewayangan sebagai wahana dan ruang untuk mengejek tatanan sosial dan politik di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa cerita pewayangan selalu berhasil melewati segala persoalan zaman, dibuktikan dengan kemunculan berbagai naskah mulai dari pra hingga pasca kemerdekaan Indonesia.

Wayang juga diakui dapat menjadi representatif atas isu-isu yang tengah merebak. Sebagaimana yang kita ketahui, dewasa ini banyak wanita yang mulai angkat bicara dalam isu kesetaraan gender. Dorothea Rosa Herliany dalam puisinya yang berjudul Elegi Sinta, mengisahkan Sinta yang tidak sudi membakar dirinya ke dalam api suci hanya demi seorang pengecut bernama Rama. Kekecewaan terlihat jelas dari tokoh aku-lirik yang bahkan lebih rela dirinya bermandikan dosa bersama Rahwana daripada kembali pada seorang penakut seperti Rama.


kuburu rahwana
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku


Dalam puisinya, Dorothea berusaha menyampaikan bahwa wanita tidak selemah yang selama ini dibayangkan kaum pria melalui tokoh Sinta yang kita kenal sebagai sosok yang konservatif, namun dalam puisi ini digambarkan berani menantang sosok Rahwana. Hal senada juga disampaikan Subagio Sastrowardoyo dalam puisinya yang berjudul Asmaradana. Ternyata wayang sebagai simbol atas isu gender yang tengah ramai dibicarakan tidak hanya digunakan oleh wanita penyair, melainkan juga pria.
Dari beberapa contoh di atas, maka sudah jelas bahwa wayang mampu menjadi blue print hampir dalam setiap keadaan dari masa ke masa, khususnya yang kemudian direkam dalam bentuk karya sastra. Wayang sebagai suatu mitologi yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, tak dapat dielak sebagai suatu cerita universal yang akan selalu abadi.

/3/

Eksistensi wayang dalam sastra Indonesia kontemporer tidak dapat lagi disangkal karena wayang merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling banyak dieksplorasi dan diadaptasi ke dalam bentuk-bentuk seni lainnya. Wayang yang merupakan mitologi yang diyakini dan dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, menjadi suatu produk yang dapat bertahan dari masa ke masa. Tidak hanya bertahan, cerita pewayangan juga mampu berkembang sesuai perkembangan zaman dan selalu berhasil menjadi simbol-simbol suatu keadaan dan isu yang sedang terjadi di negeri ini.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Roestam. 1953. Bebasari. Jakarta: Balai Pustaka.
Herliany, Dorothea Rosa. 2006. Santa Rosa. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Mangunwijaya, Y. B. 1988. Sastra dan Religiousitas. Yogyakarta: Kanisius.
Sastrowardoyo, Subagio. 1995. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta: Grasindo.
Sindhunata, 1983. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: PT. Gramedia.