Dec 29, 2011

Kepada Maya


Selamat malam, Maya.

Mungkin aku bukan malaikat, tapi jika kamu mau aku adalah malaikat, maka baiklah, aku malaikat. Mungkin, jika itu maumu, aku adalah malaikat yang pada akhirnya mencoba berpura-pura berteman dengan kehidupan. Dan mungkin, jika itu maumu, aku adalah malaikat yang turun dari semburat awan kelabu sambil bersenandung lagu-lagu dari nirwana. Tapi sebenarnya begitu lucu ketika melihatmu masih saja berkutat dengan malaikat.

Aku ada. Sayangnya, kata-kataku terbatas untuk memberitahumu bahwa aku ada. Kamu tahu, mungkin semesta terlalu singkat untuk dapat mempertemukan kita. Maka inilah aku; sibuk menerka-nerka senyummu. Mungkin aku juga harus menerka-nerka bagaimana caranya kamu tertawa.

Kamu pasti tak pernah menyangka, lagu-lagu yang mulanya sederhana di telingamu, dapat membawamu kepada cinta yang sedalam ini. Lucu, melihatmu pusing mempelajari rumus pertemuan dan perpisahan, melupakan dan dilupakan. Pada akhirnya waktu pula yang akan menggerus ingatanmu. Tapi aku suka caramu menggoreskan kuas dan bermain dengan retorika di atas kertas. Waktu tidak akan menggerus ingatanku, aku abadi.

Sampai kapan kamu berpura-pura semuanya baik-baik saja, Maya? Bagaimana jika dunia ini berujung dengan akhir yang sama sekali tak pernah kamu duga? Sepanjang hari kamu tidak berhenti bertanya “mengapa?”, aku tahu kamu rindu. Aku tahu kamu rindu ucapan selamat pagi seperti di mimpimu tadi. Bahkan dalam mimpi pun kamu setengah tak percaya. Tapi aku suka caramu menikmati segala yang kamu pikirkan, segala yang kamu pertanyakan.

Aku tahu kamu rindu begitu dalam, begitu dalam hingga urat nadi dan mencekik lehermu. Tapi kamu tahu bagaimana caranya untuk tidak menangis, malam ini. Kamu tahu bagaimana caranya dunia berputar tidak searah. Cinta yang kamu mau, bahkan tak tertulis dalam buku cerita. Barangkali aku baru bisa menemukannya dalam kitab –entah kitab yang mana. Kini kamu berpikir bagaimana caranya Tuhan merencanakan semua; betapa cinta bekerja dengan caranya yang tak bisa dimengerti. Aku ingin sekali menjemputmu subuh nanti, menyelamatkanmu dari mimpi-mimpi yang hampir berkarat namun tetap kamu nanti.

Mari melupakan selagi semua masih bahagia.



"di subway,
aku tak tahu saat pun sampai..."



Jakarta, 29 Desember 2011

dua bait terakhir adalah penggalan sajak Goenawan Mohamad, Senja pun Jadi Kecil, Kota pun Jadi Putih.

Dec 3, 2011

Senja di Sudut Dermaga


Aku baru saja merebahkan tubuhku di sudut dermaga ketika kulihat seberkas cahaya merah semburat dari balik awan, turun ke bumi. Mulanya aku sangka itu cahaya senja, namun seketika cahaya itu hilang di tengah lautan. Sudut dermaga sepi tanpa hingar-bingar camar. Mungkin hanya aku yang melihat cahaya merah yang begitu gaib tadi.

Saat itu aku tak peduli kemana semua orang pergi, aku hanya ingin melihat bentuk-bentuk awan yang beraneka dari sudut dermaga. Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang berdiri di tengah awan kumulus. Jantungku berhenti. Sepersekian detik aku meyakinkan diriku bahwa yang kulihat adalah hantu, ataukah malaikat? Aku tak pernah melihat hantu sebelumnya, apalagi malaikat. Ia menatap jauh ke angkasa, dengan kuas yang ia genggam di tangan kanannya. Saat itulah kamu datang.

Kamu datang, dengan jas dan pantalon hitam. Semua akan baik-baik saja, katamu waktu itu. Kamu sungguh berbeda. Aku pikir, malaikat selalu memakai jubah putih yang keperakan. Ternyata buku-buku cerita itu salah. Tanpa mengucap sepatah kata, kamu berbaring di sisiku, ikut menyaksikan awan-awan nun di atas sana. Itu siapa? Tanyaku sambil menunjuk sosok di tengah awan tadi. Manusia, sama sepertimu. Ia kembali menghadapNya, jawabmu tenang. Detik itu juga aku melihat banyak manusia di atas sana. Begitu banyak yang pergi, ya?

Suatu saat aku juga akan pergi. Aku ingin melebur bersamaNya. Tiba-tiba aku ingat cerita ayah tentang hari akhir, di mana empatpuluh hari sebelumnya orang-orang beriman akan mati oleh kabut yang entah apa namanya. Aku bergidik ngeri, tapi alangkah bahagianya aku jika termasuk ke dalam orang-orang beriman itu.

Aku hanya takut tak bisa bertemu orang-orang di sekitarku, bisikku, ada jutaan manusia di atas sana. Kamu tersenyum. Mungkin kamu sendiri tak tahu jawabannya, mungkin juga kamu sengaja tak mau memberitahu. Angin laut berhembus meniup rambutku yang tergerai panjang ke wajahmu. Sementara di atas sana, semakin banyak manusia yang berkerumun, saling berpegangan tangan di antara awan yang bergumpal seperti kapas.

Dermaga semakin sepi, matahari semakin turun. Tiba-tiba aku ingin sekali bernyanyi, bernyanyi apa saja, agar ada suara yang kudengar selain pertanyaan-pertanyaanku dan jawaban-jawaban singkatmu. Semua akan baik-baik saja, katamu lagi. Baiklah, kamu boleh bernyanyi.

Aku bersenandung lagu yang aku suka, yang pernah aku dengar di sebuah mini konser dulu, dulu sekali bersama teman-teman. Mungkin kini teman-temanku juga ada di atas sana bersama jutaan manusia lainnya, bahkan bersama penyanyi lagu yang aku senandungkan. Mereka pasti bahagia.

Lalu kapan aku dipanggilNya? tanyaku tiba-tiba.

Seketika kamu mengulurkan tangan, kita berdua berpegangan tangan sambil rebah di sudut dermaga yang sunyi.

Ternyata rasanya luar biasa
.


3 Desember 2011