Dec 3, 2011

Senja di Sudut Dermaga


Aku baru saja merebahkan tubuhku di sudut dermaga ketika kulihat seberkas cahaya merah semburat dari balik awan, turun ke bumi. Mulanya aku sangka itu cahaya senja, namun seketika cahaya itu hilang di tengah lautan. Sudut dermaga sepi tanpa hingar-bingar camar. Mungkin hanya aku yang melihat cahaya merah yang begitu gaib tadi.

Saat itu aku tak peduli kemana semua orang pergi, aku hanya ingin melihat bentuk-bentuk awan yang beraneka dari sudut dermaga. Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang berdiri di tengah awan kumulus. Jantungku berhenti. Sepersekian detik aku meyakinkan diriku bahwa yang kulihat adalah hantu, ataukah malaikat? Aku tak pernah melihat hantu sebelumnya, apalagi malaikat. Ia menatap jauh ke angkasa, dengan kuas yang ia genggam di tangan kanannya. Saat itulah kamu datang.

Kamu datang, dengan jas dan pantalon hitam. Semua akan baik-baik saja, katamu waktu itu. Kamu sungguh berbeda. Aku pikir, malaikat selalu memakai jubah putih yang keperakan. Ternyata buku-buku cerita itu salah. Tanpa mengucap sepatah kata, kamu berbaring di sisiku, ikut menyaksikan awan-awan nun di atas sana. Itu siapa? Tanyaku sambil menunjuk sosok di tengah awan tadi. Manusia, sama sepertimu. Ia kembali menghadapNya, jawabmu tenang. Detik itu juga aku melihat banyak manusia di atas sana. Begitu banyak yang pergi, ya?

Suatu saat aku juga akan pergi. Aku ingin melebur bersamaNya. Tiba-tiba aku ingat cerita ayah tentang hari akhir, di mana empatpuluh hari sebelumnya orang-orang beriman akan mati oleh kabut yang entah apa namanya. Aku bergidik ngeri, tapi alangkah bahagianya aku jika termasuk ke dalam orang-orang beriman itu.

Aku hanya takut tak bisa bertemu orang-orang di sekitarku, bisikku, ada jutaan manusia di atas sana. Kamu tersenyum. Mungkin kamu sendiri tak tahu jawabannya, mungkin juga kamu sengaja tak mau memberitahu. Angin laut berhembus meniup rambutku yang tergerai panjang ke wajahmu. Sementara di atas sana, semakin banyak manusia yang berkerumun, saling berpegangan tangan di antara awan yang bergumpal seperti kapas.

Dermaga semakin sepi, matahari semakin turun. Tiba-tiba aku ingin sekali bernyanyi, bernyanyi apa saja, agar ada suara yang kudengar selain pertanyaan-pertanyaanku dan jawaban-jawaban singkatmu. Semua akan baik-baik saja, katamu lagi. Baiklah, kamu boleh bernyanyi.

Aku bersenandung lagu yang aku suka, yang pernah aku dengar di sebuah mini konser dulu, dulu sekali bersama teman-teman. Mungkin kini teman-temanku juga ada di atas sana bersama jutaan manusia lainnya, bahkan bersama penyanyi lagu yang aku senandungkan. Mereka pasti bahagia.

Lalu kapan aku dipanggilNya? tanyaku tiba-tiba.

Seketika kamu mengulurkan tangan, kita berdua berpegangan tangan sambil rebah di sudut dermaga yang sunyi.

Ternyata rasanya luar biasa
.


3 Desember 2011

No comments: