Jun 24, 2011

Anggi


Adikku yang satu itu memang gemar memberi kejutan. Di antara kami bertiga; aku, ia, dan Randa, ialah yang paling bisa mengubah hal-hal kecil menjadi sangat bermakna.

Misalnya, ketika pertama kalinya tulisanku dimuat di koran mingguan, ialah yang sibuk menggunting-gunting artikel sederhana itu dan membingkainya, memajangnya tepat di atas meja di ruang tamu tanpa sepengetahuanku. Ia juga pernah membuat Randa tercekat ketika ia menangis di pojok dapur karena gagal membuat tiramisu kesukaan Randa yang –tadinya, akan dijadikan kejutan saat Randa lulus sekolah menengah tahun lalu. Juga setiap salah satu dari keluarga kami ulang tahun, kejutan-kejutan darinya seakan tak pernah berhenti. Mungkin karena ia adalah satu-satunya anak perempuan, atau entahlah, yang membuat ia merasa bertanggung jawab meramaikan suasana rumah kami. Maka tak heran jika ayah dan ibu sangat sayang padanya, sangat bangga padanya.

Adikku yang satu itu memang gemar memberi kejutan, bahkan pada saat kematiannya. Pagi ini, ayah menerima telepon dari rumah sakit. Adikku kecelakaan, katanya. Sebuah mobil yang melaju kencang menghempasnya ketika ia menyeberang jalan. Ia meninggal saat itu juga, kaki dan tangannya patah, tengkoraknya retak. Tabrak lari. Mengenaskan sekali, adikku yang manis itu, yang selalu membuat orang di sekitarnya bahagia, harus menutup usianya karena tabrak lari. Ayah sesak napas, airmatanya mengalir. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat ayah menangis, bahkan ketika kakek meninggal pun ayah tak menangis. Hal yang lebih buruk terjadi pada ibu. Ibu pingsan, tapi aku sangat dapat memahaminya.

Seisi rumah tiba-tiba sibuk; pembantu kami berusaha membangunkan ibu dengan memijit-mijitnya dan mengoleskan minyak angin di bawah hidungya, sedang aku sibuk menenangkan ayah sambil melawan emosiku sendiri untuk tidak ikut menangis. Saat itu Randa sudah berada di kampus. Sambil mengusap-usap punggung ayah, aku mencoba menghubungi Randa. Sesuai dugaan, Randa tak mengatakan sepatah kata pun ketika mendengar kabar dariku. Sambungan telepon diputus.

Kejutan yang sangat hebat, Anggi… Kurang dari tiga jam yang lalu, kami berlima masih berkumpul di ruang makan. Sarapan, seperti biasanya. Ibu membuat telur dadar dan nasi goreng, sambil terus-menerus mengingatkan Randa agar tidak terlalu banyak minum kopi. Ayah sibuk dengan kacamata yang baru dibelinya kemarin, mengelap dan mengelapnya kembali sampai menjadi sangat mengilap, hingga ibu menegurnya karena ayah tak juga memakan nasi goreng yang sudah ada di hadapannya. Sementara itu, Anggi dengan mulut yang masih penuh mengeluh pada ibu karena nasinya terlalu pedas. Tak ada yang lain pagi itu, semua sama seperti biasanya. Bahkan Anggi sendiri pun mungkin tak tahu jika pagi ini juga ia akan bertemu malaikat.


***


Mil, Anggi udah pulang, belum?, tiba-tiba ayah menutup Qur’annya dan bertanya padaku, di tengah pengajian yang sedang berlangsung.

Aku menarik napas panjang. Yah, Anggi udah tenang, Yah…

Masya Allah Mil, ini udah malem lho. Kamu atau Randa, jemput Anggi, sana.

Aku meneruskan membaca Yaasin, sengaja tak menghiraukan ucapan ayah, karena aku tahu penjelasanku akan semakin melukai hatinya. Di sebelahku, Randa tak banyak bicara. Ia bahkan tak ikut membaca Yaasin, tangan kanannya menggenggam Qur’an, sedangkan tangan kirinya sibuk menyeka bulir airmata yang tak sempat merembes ke pipi. Malam itu, rumah kami sesak oleh keluarga, tetangga, serta kerabat. Jarang sekali rumah kami seramai ini, mungkin terakhir kali ketika khitanan Randa belasan tahun silam. Semua berkumpul, bahkan tanpa rencana. Tentu saja, siapa yang bisa merencanakan kematian?

Aku melihat sekelilingku, ramai, tapi hampa. Puluhan orang kusyuk membaca doa-doa; memohon keselamatan Anggi di alam sana, memohon supaya Anggi senantiasa bahagia. Anggi pasti bahagia. Seperti yang pernah kubaca dalam sebuah cerita, kematian adalah sesuatu yang bahagia, sehingga tak selayaknya ditangisi. Tapi benarkah demikian? Mungkin kematian memang membahagiakan, untuk yang meninggal, bukan yang ditinggal. Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan membaca ayat berikutnya. Sementara itu, di rumah bagian belakang, nenek dan yang lainnya sibuk menata air mineral dan makanan kecil untuk para tamu dengan wajah yang masih sembap, sambil sesekali mengusap airmata tuanya, mencoba terlihat tegar.

Seharusnya malam ini aku dan Anggi duduk-duduk di ruang tengah. Karena ini malam Sabtu, kami akan menonton film serial kesukaan kami bersama, sambil membolak-balik majalah atau mengutak-atik telepon genggam dan menunggu Randa pulang. Hampir tiap hari Randa pulang malam. Alasannya beragam; mulai dari sibuk mengerjakan tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya, bermain futsal, hingga entahlah hal apa yang dilakukan remaja seusianya. Malam ini Randa tak ke mana-mana, hanya duduk bersila di pojok ruangan, masih belum membuka Qur’annya.

Emil, ada yang nyari kamu.


***


Usiaku dan Anggi hanya terpaut dua tahun. Sejak kecil, kami bertiga selalu belajar di sekolah yang sama, tumbuh bersama dengan cerita-cerita yang kami bagi bersama. Tidak ada yang tidak aku ketahui dari Anggi, juga rahasia-rahasia masa remajanya yang tak mungkin ia sampaikan ke Ayah atau Ibu. Aku selalu melindunginya, misalnya saat ia mencoba pergi ke diskotik bersama beberapa temannya, saat ia diskors karena ketahuan merokok di kamar mandi sekolah, atau saat ia tak lulus dalam beberapa mata kuliah di semester awal; kenakalan-kenakalan remaja yang masih wajar dan tidak terlalu kelewat batas. Sebagai kakak, aku selalu mencoba menutupinya, hingga kadang aku harus berpura-pura dan berbohong pada Ayah dan Ibu, untuk melindunginya.

Emil, ada yang nyari…

Mungkin seharusnya aku tak usah menemuinya. Tidak hanya malam ini, tapi juga hari-hari berikutnya, mungkin seharusnya aku tak perlu menemuinya. Tapi lelaki yang kukenal sebagai kekasih Anggi itu telah berdiri di hadapanku, dengan wajah dan airmata yang tak terjelaskan. Lagi-lagi sebuah kejutan. Kini aku harus berpura-pura tidak mengetahui bahwa Anggi meninggal bukan hanya karena tabrak lari.



22 Juni 2011

Jun 12, 2011

Malam Ini, Aku Bisa Menulis (terjemahan dari "Tonight I Can Write", Pablo Neruda, Sonnet XX)

Malam ini, aku bisa menulis baris tersendu.

Menulis, misalnya, “malam berbintang dan membiru, gemetar dalam kejauhan.”

Angin malam berputar di angkasa, bersenandung.

Malam ini, aku bisa menulis baris tersendu.
Aku mencintainya, kadang ia mencintaiku.

Malam seperti ini, biasanya kulewati dengan menggenggamnya.
Kukecup dirinya, lagi dan lagi, di bawah langit tak berujung.

Ia mencintaiku, kadang aku mencintainya.
Bagaimana mungkin aku tak mencintai matanya yang indah.

Malam ini, aku bisa menulis baris tersendu.
Memikirkan bahwa ia tak lagi milikku. Merasakan bahwa aku telah kehilangannya.

Mendengar bisik semesta yang tak terjamah, yang akan semakin tak terjamah tanpanya.
Sajak pun terburai, seperti embun di padang rumput.

Mengapa cintaku tak kuasa menahannya.
Malam berbintang, dan ia tak bersamaku.

Inilah segala. Di kejauhan seseorang bersenandung. Di kejauhan.
Jiwaku tak terpuaskan karena telah kehilangannya.

Benakku mencoba menemukannya, seolah mampu mendekatkannya padaku.
Hatiku mencarinya, tapi ia tak bersamaku.

Malam yang sama memutihkan pohonan.
Kita, kini, tak lagi sama.

Aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi betapa aku pernah mencintainya.
Suaraku mencoba meraba angin, berharap ia dapat mendengarnya.

Orang lain. Ia akan menjadi milik orang lain. Seperti ia yang sebelum kukecup.
Suaranya, tubuhnya. Matanya yang tak berbatas.

Aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi mungkin aku mencintainya.
Mencinta begitu cepat, melupakan begitu kekal.

Karena malam seperti ini, biasanya kulewati dengan menggenggamnya,
jiwaku tak terpuaskan karena telah kehilangannya.

Biarlah ini menjadi luka terakhir yang membuatku menderita
dan ini adalah sajak terakhir yang kutulis untuknya.

Kamu, di Dalam Kepala, di Dalam Bis yang Melaju


Tiba-tiba kamu muncul, tadi, waktu aku masih dalam perjalanan menuju rumah. Aku kira aku akan marah, seperti yang selalu kulakukan akhir-akhir ini. Bis melaju perlahan, memasuki sebuah terowongan yang seakan tak ada ujung. Kamu masih diam di dalam kepalaku, beku, sementara lagu sendu terus diputar berulang-ulang.

Aku tak tahu apa yang kamu lakukan di dalam sana, sepertinya kamu menulis sesuatu, kadang tertawa hampa. Sengaja kudiamkan kamu di sana beberapa waktu, sambil memperhatikan dinding terowongan yang penuh coretan kelabu. Sekarang kamu berlari di antara hujan yang entah mengapa bisa turun di dalam sana, aku tidak merasa menciptanya, lalu siapa? Apakah kamu sudah mulai bisa mengendalikan pikiranku?

Terowongan masih belum habis. Coretan-coretan di dindingnya semakin kelam, entah siapa yang pernah membuatnya di sana, di dalam terowongan dengan sedikit cahaya, hingga membedakan warna cat yang akan dipakai pun pasti sulit. Hujan dalam kepalaku telah berhenti, kini kamu diam, menatapku dengan kosong. Tangan kananmu menggenggam sesuatu; tentu saja itu adalah sebuah buku, buku yang penuh dengan coretanku. Kamu berlari ke sebuah sudut yang gelap di dalam sana, duduk. Lembar demi lembar buku itu mulai kamu buka satu-persatu. Kamu ingat ini, Mina?

Bis terus melaju menembus pekatnya terowongan yang seakan tanpa ujung, aku mulai resah. Kamu masih membuka lembar-lembar buku itu, sambil beberapa kali menunjukkan gambar-gambar yang ada di dalamnya: beberapa genggam senyum yang pernah kugambar, dan banyak gambar mata dalam berbagai warna, bentuk, dan ukuran. Kamu tersenyum puas. Kamu tahu, Mina, ada yang menunggumu. Ada yang mengingatmu kala rimis. Ada yang mau menyebut namamu. Jikalau itu bukanlah aku, Mina… Kamu tak menyenyelesaikan ucapanmu, tiba-tiba kamu pergi.

Seberkas cahaya muncul dari ujung terowongan, silau, yang lama-kelamaan memendar, meluas, tak lagi menyakitkan mata. Akhirnya bis melaju keluar dari terowongan disambut langit yang biru muda. Kupikir di luar akan mendung, ternyata cerah. Aku mengusap kedua pipiku yang membeku kedinginan. Apa ini? Airmata?


24 April 2011

Ketika Kuriositas menjadi Komoditas; Prosa Chekhov dan Veven S. P. dalam Kajian Sastra Bandingan


/1/
Sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Dalam sastra bandingan, kita membandingkan unsur-unsur yang terdapat dalam dua karya sastra yang dijadikan sebagai objek, misalnya unsur psikologis, sosial, hukum, atau unsur-unsur lainnya. Ada dua mashab dalam sastra bandingan, yang pertama adalah mashab Prancis yang mengharuskan dua objek yang dibandingkan adalah karya sastra, misalnya puisi dengan novel, sedangkan mashab yang kedua adalah aliran Amerika yang tidak mengharuskan karya sastra menjadi objek yang dibandingkan, misalnya film dengan novel, lagu dengan puisi, dan lain-lain.

Selain mashab, juga terdapat dua pendapat berbeda mengenai konsep dasar sastra bandingan. Menurut Remak (1990), konsep dasar sastra bandingan adalah membandingkan dua karya yang berasal dari dua negara yang berbeda. Maka, membandingkan dua karya yang berasal dari satu negara tidak dapat dikatakan sebagai sastra bandingan. Hal ini dibantah oleh Nada (1990) yang mengatakan bahwa ia tidak sependapat dengan Remak karena dalam satu negara bisa saja terdapat kebudayaan serta keadaan sosial yang heterogen.

Membandingkan dua buah karya, baik karya sastra dengan sastra, atau karya sastra dengan bentuk karya lain, sebenarnya yang diperlukan hanyalah kejelian serta pengetahuan yang luas mengenai hal-hal di dalam maupun di luar sastra itu sendiri. Pemahaman mendalam mengenai kebudayaan, bahasa, aspek sosial dan politik, hukum, serta psikologis sangat diperlukan sehingga dapat diketahui dengan jelas apa yang menyebabkan dua buah karya mirip atau senuansa.

Hal yang senuansa itulah yang ditemui dalam dua prosa lintas negara, “Karya Seni” (“A Work of Art”) yang ditulis oleh Anton Chekhov dan “Déjà vu Kathmandu” karya Veven S.P. , yang akan dijadikan objek dalam makalah ini. “Karya Seni” yang dialihbahasakan oleh Anton Adiwiyoto ini mengangkat kisah sebuah barang antik yang diberikan seorang gadis kecil sebagai hadiah kepada dokter yang telah berhasil menyembuhkan ibunya. Dokter tersebut, yang tercengang dengan barang yang berupa patung tersebut akhirnya memberikan pemberian si gadis kepada rekannya yang seorang pengacara. Dari situlah konflik dibentuk, sebab sang pengacara juga tercengang dan memberikan patung itu kepada teman lamanya yang seorang pelawak, sampai akhirnya patung antik tersebut kembali ke si gadis.

Sementara itu, “Déjà vu Kathmandu” mengisahkan pertemuan seorang lelaki dan perempuan di tanah Hindustan, yang keduanya sama-sama merasa seakan pernah bertemu, tapi entah di mana. Baik Chekhov maupun Veven, keduanya membawa pembacanya berpetualang dari awal hingga akhir cerita dengan membawa satu pertanyaan yang sebenarnya merupakan hal penting dalam membangun cerita masing-masing. Dalam “Karya Seni”, pembaca terus dibuat bertanya, sebenarnya bagaimakah wujud patung antik yang begitu mencengangkan itu? Sedangkan dalam “Déjà vu Kathmandu”, Veven juga terus membuat pembacanya bertanya kapan sebenarnya mereka berdua pernah bertemu? Hal inilah yang menarik, ketika kuriositas pembaca dijadikan komoditas, ketika rasa penasaran dan keingintahuan menuntut pembaca untuk cepat-cepat menyantap suatu cerita hingga habis.

/2/
Diperlukan sebuah tempat lilin yang indah mempesona untuk meyakinkan mereka –dokter, pengacara dan pelawak – bahwa jauh lebih menyenangkan memberi daripada menerima.” (Pengantar dalam “Karya Seni”)

Sasha Smirnov, anak tunggal seorang pengoleksi barang antik, tak pernah mengira bahwa pemberian sebagai rasa terima kasihnya kepada dokter Koshelkov akan menjadi polemik yang cukup besar bagi beberapa orang di kemudian hari. Pemberian itu, sebuah patung tempat lilin indah peninggalan ayahnya, begitu mengejutkan dokter Koshelkov. Pada mulanya dokter Koshelkov menolak karena meskipun patung tersebut amat indah dan langka, patung tersebut terlalu cabul. Cabul; tak hanya mungkin sedang bertelanjang, melainkan wanita-wanita yang menjadi bagian dari patung tersebut juga melakukan sesuatu yang tak layak. Lucunya, Chekhov, dalam cerita ini, tak hanya tidak menyebutkan pose apakah yang membuat kedua wanita tersebut menjadi terlihat amat cabul, melainkan juga menuliskan komentarnya sendiri terhadap patung yang tak senonoh itu, sehingga keingintahuan pembaca mengenai wujud patung ini semakin besar.

Di atas panggung berdiri dua sosok tubuh wanita memakai busana Ibu Hawa dan dalam sikap yang saya sendiri tidak mempunyai keberanian untuk memerikannya. Kedua wanita ini tersenyum genit dan pada umumnya memberikan kesan kepada orang bahwa seandainya mereka tidak harus menopang lilin, mereka akan turun dari panggung dan melakukan sesuatu yang…pembaca yang baik, saya bahkan malu memikirkannya saja!” (“Karya Seni” dalam Buku Harian Seorang Gila hlm. 9)

Chekhov rupanya tak berhenti di situ, melalui dokter Koshelkov, ia semakin membuat pembaca semakin penasaran sebab dokter Koshelkov pun akhirnya memberikan pemberian itu kepada rekannya seorang pengacara Ukhov. Seperti yang kita duga, Ukhov pun pada awalnya menolak patung yang tidak lazim tersebut. Ukhov yang mulai frustasi akhirnya memutuskan untuk memberikan pemberian tersebut kepada teman lamanya, pelawak Shoskin. “Aku tahu! Sore ini juga aku akan berikan kepada pelawak Shoskin. Bajingan itu menyukai benda-benda seperti ini.” (hlm. 13). Jadi, seburuk apakah sebenarnya patung tersebut, hingga orang yang mungkin menyukai patung tersebut layak dikatakan sebagai bajingan? Pada bagian sebelumnya, dokter Koshelkov juga mengatakan kepada Sasha “Beezelbub sendiri tidak akan bisa memikirkan sesuatu yang lebih buruk lagi” (hlm. 10). Bahkan Beezelbub, raja iblis, sekalipun dikatakannya tak akan bisa memikirkan yang lebih buruk daripada patung itu. Bukankah patung tersebut indah?

Pada akhirnya, Shoskin yang berhasil menolak pemberian Ukhov memberi saran bahwa patung semacam itu lebih baik dijual kepada penjual patung perunggu antik bernama Smirnova. Ukhov, yang tidak menemukan cara lain untuk menjauhkan patung tersebut dari dirinya, mengikuti saran Shoskin untuk menjual patung pada Nyonya Smirnova yang tak lain adalah ibu dari Sasha Smirnov.

Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Sasha Smirnov yang amat senang mendapatkan patung yang identik dengan patung yang pernah diberikannya kepada dokter Koshelkov kembali ke ruang praktik dokter itu dengan wajah berseri sambil membawa patung yang baru saja didapatnya. Sasha Smirnov, dengan cerianya, mengatakan bahwa ia menemukan pasangan dari patung yang pernah diberikannya dan dokter Koshelkov layak mendapatkan patung kedua itu. Cerita pun berakhir dengan dokter Koshelkov yang menganga tanpa sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dan rasa penasaran yang masih belum terbayar di pihak pembaca.

Tidak jauh berbeda dengan Chekhov, Veven S. P. juga memaksa pembacanya untuk terus bertanya mengenai satu hal yang cukup krusial dalam membangun keutuhan cerita tersebut. Xiao Qing, wanita yang berusaha menjauhkan dirinya dari sebuah negara yang tak mau disebutkannya bahkan diingatnya lagi, bertemu dengan Xu Xian, seorang reporter yang sedang bertugas di Kathmandu, India. Pada awal perkenalan mereka, baik Xiao Qing maupun Xu Xian, merasa pernah saling mengenal dekat, entah kapan dan di mana. Hal ini terus mereka ungkapkan sepanjang kebersamaan mereka.

Rasanya pertanyaan itu adalah sebuah pernyataan . aku juga pernah merasakan, sebelumnya kami memang pernah berjumpa. Atau kami malah saling mengenal, kenal dengan dekat bahkan.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil Aku Pheng Hwa)

Rasa penasaran di antara keduanya semakin meningkat setelah mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Pertanyaan-pertanyaan yang sama, mengenai kapan dan di mana kira-kira mereka pernah bertemu, terus saling mereka lontarkan. Sempat mereka berdua cukup sepakat, bahwa mungkin saja mereka adalah reinkarnasi dari Xiao Qing dan Xu Xian, dua nama tokoh legenda Cina yang mereka gunakan sebagai nama samaran, sehingga pada kehidupan selanjutnya, yaitu kehidupan mereka saat ini, mereka merasa pernah mengenal dengan amat dekat.

Xiao Qing adalah nama siluman ular hijau dalam cerita tentang dua siluman ular yang bertapa sampai beratus-ratus tahun memohon pada dewa agar mereka bisa menjelma menjadi manusia. Xu Xian, nama yang kuperkenalkan secara spontan sebagai nama diriku, adalah nama seorang tabib yang kemudian jatuh cinta pada salah satu jelmaan siluman itu. Bai Su-zhen, namanya.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil Aku Pheng Hwa)

Ada yang sedikit misterius dari Xiao Qing, yaitu kebenciannya tehadap suatu negeri yang bahkan tak pernah mau diingatnya. Ingatan buruk tersebut muncul lagi ketika Xiao Qing dan Xu Xian menonton pertunjukan musik yang, menurut Xu Xian, mengingatkannya kepada tanjidor, musik tradisional yang berasal dari negeri yang tak ingin diingat Xiao Qing itu. Hingga bagian ini para penonton tentu saja akan bertanya-tanya Indonesia? Adakah hubungan Indonesia dengan pertemuan Xiao Qing dan Xu Xian yang sebelumnya?

Akan tetapi, Veven rupanya jauh lebih baik hati daripada Chekhov yang membiarkan pembacanya menderita hingga akhir cerita. Hal ini terbukti dari kerelaannya memberi informasi yang amat penting, yaitu perihal apa yang tsebelumnya erjadi antara Xiao Qing dan Xu Xian sehingga mereka dapat merasakan kedekatan yang tidak lazim untuk dua orang yang kemungkinan besar tidak pernah bertemu sebelumnya. Setelah pembicaraan yang menguras emosi antara Xiao Xing dan Xu Xian di kamar hotel, mereka memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan mereka masing-masing seperti sebelumnya. Pada saat itulah, Veven, tanpa melalui tokoh-tokohnya, memberikan pemaparan mengenai hubungan antara Xiao Qing dan Xu Xian.

Kalau saja nanti di Jakarta dia membuka-buka file di komputernya, dia akan menemukan tulisannya mengenai pemerkosaan massal yang pernah terjadi di negerinya. Dalam file yang disimpan. Dalam folder khusus itu, lelaki itu juga mendokumentasikan seorang perempuan yang wajahnya sama persis dengan Xiao Qing. Folder khusus itu menampung sejumlah tulisannya yang ditolak media massa yang tak berkehendak memuatnya.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil aku Pheng Hwa)

Cerita selelsai. Rasa penasaran pembaca terbayar, namun cerita tak pernah selesai bagi tokoh-tokoh di dalamnya; Xiao Qing dan Xu Xian. Mereka berdua tetap menyimpan rasa bertanya-tanya, kapan dan di mana mereka pernah bertemu. Seandainya Xiao Qing dan Xu Xian bisa bertanya seperti pembaca, mereka pastilah akan tetap mencari tahu.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, baik Chekhov dan Veven, sama-sama menghadirkan suatu gaya penceritaan yang mampu mengikat pembacanya hingga akhir cerita. Kuriositas inilah yang menarik perhatian para pembaca, sama seperti ketika kita dihadapkan pada cerita-cerita detektif semacam novel-novel Agatha Christie yang menjengkelkan –terkadang membosankan di bagian tengah, tetapi tak bisa ditinggalkan begitu saja karena jawaban yang ditunggu bisa saja tersembunyi di setiap kata – namun dengan tema yang lebih ringan. Di situlah kesenangan muncul, dalam sebuah cerita yang tak cukup berat namun tak juga ringan, tetapi menyimpan sebuah petualangan tersendiri.

/3/

Dalam cerita pendek “Karya Seni” (“A Work of Art”) karya Anton Chekhov dan “Déjà vu Kathmandu” karya Veven S. P., sama-sama menyajikan cerita dengan beberapa pertanyaan yang hampir tak terjawab, padahal sesuatu yang hilang tersebut kiranya sangat penting dalam membangun keutuhan cerita. Dalam “Karya Seni” kita dipaksa terus ingin tahu mengenai bentuk dari patung milik Sasha Smirnova yang begitu mengagetkan banyak orang. Sementara itu, dalam “Déjà vu Kathmandu”, Veven memaksa kita sebagai pembaca untuk terus tetap membaca hingga akhir cerita, melewati bagian tengah cerita yang sebenarnya tak terlalu ‘mengena’; berjalan-jalan di seputaran Kathmandu dan hampir tertabrak sepeda motor, yang ternyata bukan merupakan konflik yang terlalu berarti, demi mencari jawaban yang mungkin saja terdapat di akhir cerita.

Mengenai kesamaan, keduanya menjadikan rasa penasaran pembaca sebagai sesuatu yang dapat menarik keinginan untuk terus membacanya hingga akhir cerita. Hal inilah, yang dalam makalah ini, menjadi objek dari kajian sastra bandingan itu sendiri. Kuriositas memang selalu berhasil menjadi sesuatu yang menarik, seperti seharusnya.







Sumber
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.
Nugroho, Yanusa (ed.). 1993. Buku Harian Seorang Gila dan Cerita-cerita Lainnya. Jakarta: Mitra Utama.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Werdana, Veven S. P. 2002. Panggil Aku Pheng Hwa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.