Feb 16, 2013

Sakramen



“Aku cuma mau pulang, Tuhan..”

Tapi mereka melarangmu, menangisimu sembari merapalkan doa yang entah apa maknanya dan memegang keningmu.

“Tuhan, aku cuma mau bertemu..”

Tangis mereka semakin sendu, menyayat-nyayat ingatan tentang tawamu di hari yang lalu, membuat malam makin mencekam.

“Tuhan, kenapa mereka harus berdoa?”

Mereka mulai menyalahkan satu sama lain, sebab tak memerhatikan sakitmu dan ini dan itu. Perempuan tua yang sedari tadi tangisnya paling pilu beranjak ke arah pintu.

“Kenapa mereka harus meminta…”

Isak tak kunjung henti, doa semakin tak jelas didengar, sebab napas berkejaran dengan sengguk, hawa dingin menyusup ke tengkuk.

“Kau yang menyusun segala cerita…”

Seseorang di pojokan, lelaki yang rambutnya telah beruban, menepuk-nepuk dada, menahan air mata, namun mulutnya tak berhenti membaca ayat-ayat tanpa suara.

“Tuhan…”


12 Februari 2013

Ketika Kau Lapar



Ketika lapar, siapa berkata kau takkan memikir apa-apa?
Ketika lapar –sejauh yang kupelajari, imaji-imaji luruh,
          gugur di jalan setapak yang bercabang-cabang, tergeletak lantak di sampingmu.

Ketika itu juga, kau memungutinya, ketika itu juga.

Dan kau tak selalu bisa memilih, sebab semua nampak sama
: cinta yang retak, tuhan dan lagi-lagi tuhan, surga neraka
          berjejalan di jalan setapak yang entah di mana ujungnya.

Kau bersijingkat di antara kata –hati-hati jangan sampai terinjak!
Dan kau berteriak-teriak.
Sementara orang-orang di seberang jalan menatapmu dengan tatapan nyiru.
“Orang gila!”

Ketika lapar, siapa berkata kau takkan memikir apa-apa?
Dan di jalan setapak yang berbatu, kau menangis sendiri
Betapa hidup teramat payah…
“Apa yang bisa diandalkan dari kenyataan?”


Magrib, 12 Februari 2013