Apr 14, 2013

3 Cinta 1 Pria - Arswendo Atmowiloto



Apa bedanya pasangan dan kekasih?

     Bong mencintai Keka, pun sebaliknya. Meskipun mereka tidak pacaran. Meskipun Keka juga punya pacar yang jauh lebih tampan dan mapan dari Bong yang gondrong dan suka melukis buaya. Meskipun orangtua Keka tidak rela anaknya dekat-dekat dengan seniman yang tak jelas masa depan dan akhirnya mengirim Keka ke Belanda dan menikah di sana.

     Tapi Bong tetap mencintai Keka, juga sebaliknya.Meskipun Keka pernah mengusir Bong dari kantornya sebab merasa penantiannya selama ini untuk Bong sia-sia. Meskipun Bong juga sering bercanda cabul tapi apa adanya. Hingga Keka punya anak bernama Keka Kecil atau Keke, dan cucu bernama Keka Siang (Bong yang menamainya demikian). Hingga anak dan cucu Keka pun jatuh cinta juga pada Bong, sempat tinggal serumah, bahkan ada yang minta nikah!

     Keka sempat marah dan agak cemburu, tapi toh nyatanya cinta Bong memang hanya untuk Keka satu. Namun kisah malah jadi seru, sebab kini mereka tak lagi takut ketahuan orangtua, tapi takut ketahuan anak dan cucu. Bong dan Keka masih kerap bertemu dan melakukan percintaan yang hebat, meskipun rambut keduanya sudah kelabu dan tak lebat.

     Dari luar, cinta mereka memang terlihat bengal; affair seumur hidup, namun begitulah cinta termaktub: semakin nyeri, semakin indah puisi. Sebab mencintai tak perlu harus menjadi istri atau suami; yang sebenarnya hanya legitimasi untuk lebih bebas menuntut itu dan ini. Sebab cinta tak perlu harus dilembagakan untuk jadi suci, cukup dirasakan dan dijalani saja di pusat mimpi dan hati; tak perlu ada jalan keluar, tak ada salah atau benar. Sebab kekasih bisa kapan saja menjadi pasangan, tapi pasangan sangat susah untuk menjadi kekasih.


Ka, cinta itu selalu membawa kebaikan. Tapi bukan berarti pernikahan.”
–Bong

Feb 16, 2013

Sakramen



“Aku cuma mau pulang, Tuhan..”

Tapi mereka melarangmu, menangisimu sembari merapalkan doa yang entah apa maknanya dan memegang keningmu.

“Tuhan, aku cuma mau bertemu..”

Tangis mereka semakin sendu, menyayat-nyayat ingatan tentang tawamu di hari yang lalu, membuat malam makin mencekam.

“Tuhan, kenapa mereka harus berdoa?”

Mereka mulai menyalahkan satu sama lain, sebab tak memerhatikan sakitmu dan ini dan itu. Perempuan tua yang sedari tadi tangisnya paling pilu beranjak ke arah pintu.

“Kenapa mereka harus meminta…”

Isak tak kunjung henti, doa semakin tak jelas didengar, sebab napas berkejaran dengan sengguk, hawa dingin menyusup ke tengkuk.

“Kau yang menyusun segala cerita…”

Seseorang di pojokan, lelaki yang rambutnya telah beruban, menepuk-nepuk dada, menahan air mata, namun mulutnya tak berhenti membaca ayat-ayat tanpa suara.

“Tuhan…”


12 Februari 2013

Ketika Kau Lapar



Ketika lapar, siapa berkata kau takkan memikir apa-apa?
Ketika lapar –sejauh yang kupelajari, imaji-imaji luruh,
          gugur di jalan setapak yang bercabang-cabang, tergeletak lantak di sampingmu.

Ketika itu juga, kau memungutinya, ketika itu juga.

Dan kau tak selalu bisa memilih, sebab semua nampak sama
: cinta yang retak, tuhan dan lagi-lagi tuhan, surga neraka
          berjejalan di jalan setapak yang entah di mana ujungnya.

Kau bersijingkat di antara kata –hati-hati jangan sampai terinjak!
Dan kau berteriak-teriak.
Sementara orang-orang di seberang jalan menatapmu dengan tatapan nyiru.
“Orang gila!”

Ketika lapar, siapa berkata kau takkan memikir apa-apa?
Dan di jalan setapak yang berbatu, kau menangis sendiri
Betapa hidup teramat payah…
“Apa yang bisa diandalkan dari kenyataan?”


Magrib, 12 Februari 2013