Apr 29, 2011

Malaikat Tersesat


Bagaimana mungkin sesosok malaikat mencintaiku?

Sayapnya separuh mengembang menghalang silau yang masuk lewat jendela kamar, berpendar, memancar titik-titik cahaya yang memantul dari rambut tembaga.

Ia datang tiba-tiba, ketika aku baru membuka mata setelah melintas mimpi yang panjang. Membangunkanku dengan desah napasnya: napas yang tak biasa. Ia datang tanpa aku minta.

Tuhan menitipkan salam untukmu bisiknya pesona. Ia nyata, senyata selimut kelabu yang menutup separuh badanku, juga kertas-kertas yang berhamburan di lantai kamar: tulisan-tulisan yang tak pernah selesai.

Mungkin ia turun dari langit saat aku tidur semalam; memperhatikanku terlelap hingga subuh, menatap mataku yang pejam, sambil sesekali bernyanyi lirih
:nyanyi surgawi.

Aku tak pernah tahu apa yang membawanya kepadaku, yang aku tahu kini ia mengulurkan tangannya yang sedingin batu, beku. Seketika ia memberi cinta.

Ia lenyap begitu saja. Angin menerobos tirai yang tadi terhalang sayap putihnya. Aku kembali sendiri, tersesat antara maya dan fana, antara ingat dan lupa. Bahkan potongan kata menertawakanku.

Bagaimana mungkin sesosok malaikat menyakitiku?


28 April 2011

Apr 21, 2011

Puisi Cinta untuk Indrasmara


Kau tahu, Indrasmara, rindu tak semudah ketika kau mengucapkannya.

Indrasmara, andai saja aku bisa menerjemah mimpi ke dalam kata, kau akan mengerti betapa kejamnya cinta.

Aku ingin masuk ke dalam duniamu, Indrasmara, dunia yang tak kuhafal, tapi selalu kucoba mengejanya perlahan.

Subuh selalu mengingatkanku padamu, terkadang ingatan itu merusak mimpi, tapi apalah arti mimpi yang terlupa karena itu pasti tentangmu, Indrasmara.

Maka kutulis puisi yang mendayu dayu tentangmu, setiap pagi, sambil menatap langit yang tercabik reranting pohon kapuk.

Indrasmara, beberapa orang terlambat datang. Ah, andai tak ada kata terlambat, Indrasmara, untuk mencapai hatimu yang selembar daun itu1.

18 April 2011







1 terinspirasi sajak Sapardi Djoko Damono, “Hatiku Selembar Daun”.

Apr 17, 2011

Kau Memanggilku Malaikat: Populerkah Malaikat?



/1/ Sastra Populer; Sastra yang Termarjinalkan

Dalam dunia kesusastraan, sastra populer seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap kurang layak dipelajari dalam kegiatan akademis. Hal ini terbukti dari minimnya pembelajaran mengenai sastra populer itu sendiri di institusi resmi seperti universitas. Salah satu alasannya, sastra populer bukanlah suatu ilmu yang harus dan penting untuk dipelajari. Karya sastra populer, sekonyong-konyong diberi cap ‘tidak setara’ dengan karya sastra lain yang sifatnya lebih serius. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga muncul jurang pemisah tersebut?

Sastra populer sendiri pada awalnya merupakan salah satu wujud dari seni massa. Adorno mengemukakan, kebudayaan massa yang dipengaruhi oleh industrialisme dan kapitalisme menuntut suatu hiburan (seni) yang bernilai guna dan bernilai profit. Dari kebudayaan itulah muncul suatu produk seni yang berdaya jual dan mampu memuaskan masyarakat. Produk seni yang dihasilkan tentu saja yang dapat dinikmati oleh semua orang dan tidak mengacu pada golongan-golongan tertentu. Karena orientasinya adalah pasar, maka produk tersebut tidak lagi dihasilkan berdasarkan ‘keinginan’ produsennya, melainkan selera konsumen. Apa yang saat itu dapat menjadi komoditas dan bernilai jual, maka itulah yang diproduksi. Secara tidak langsung, konsumen menjadi pengendali atas munculnya produk-produk seni tersebut.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sastra populer merupakan salah satu wujud dari permainan komoditas tersebut. Masyarakat –dalam konteks ini merupakan masyarakat awam, membutuhkan hiburan berupa bacaan yang sifatnya ringan dan mudah dicerna. Maka muncullah berbagai bacaan ringan yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, seperti novel-novel percintaan remaja, polemik rumah tangga, atau kisah tragis perjalanan hidup seseorang. Yang disajikan cenderung klise, mudah ditebak, dan tidak menimbulkan pertanyaan apa-apa setelah membacanya, mengingat karya-karya ini memang sekadar berfungsi sebagai hiburan saja.

Penulis-penulis populer pun banyak bermunculan, misalnya di Indonesia, sebut saja Mira W. yang terkenal dengan novel percintaannya, Hilman dengan Lupus yang fenomenal, atau yang terbaru dan sempat mendongkrak sastra populer-reliji, Habiburrahman El-Shirazy dengan Ayat-ayat Cinta-nya. Karya-karya mereka memang klise, namun memiliki daya jual dan dapat menghibur masyarakat dari segala lapisan.

Karena sifatnya yang sekadar menghibur itulah karya sastra populer dianggap kurang bermutu oleh kaum elit sastra. Poin-poin yang diutamakan dalam karya sastra populer tentu saja berbeda dengan karya sastra ‘serius’ yang memegang teguh prinsip dulce et utile. Sastra, menurut golongan elit, merupakan suatu wujud ekspresi diri yang tidak boleh ada campur tangan pembacanya. Sastra merupakan seni murni, perwujudan hasrat untuk berkarya, entah ada atau tidak yang membacanya nanti. Sastra bukanlah sebuah komoditas.

Perbedaan antara kedua ‘kelompok’ tersebut bukan hanya berupa sudut pandang dalam memaknai kata ‘sastra’ atau ‘berkarya’ itu sendiri, melainkan terdapat pula unsur-unsur lain yang menurut Ken Gelder dalam Popular Fiction: The Logics and Practices of a Literary Fields menjadi pembeda dalam menilai apakah suatu karya dapat dikatakan populer atau tidak.

Karya sastra populer pada umumnya menampilkan suatu realitas mimpi yang bersifat subjektif, misalnya seseorang yang bercita-cita berkuliah di luar negeri. Pemunculan stereotype termasuk dalam unsur ini, misalnya tokoh idola dalam novel remaja hampir selalu adalah siswa tampan, vokalis band, aktif dalam OSIS, dan berasal dari keluarga berada –hal yang sangat klise.

Unsur lain yang menjadi pembeda dari karya sastra populer adalah bahasa yang digunakan sederhana dan tidak memberatkan pembacanya, karena tujuan utama sastra populer adalah menghibur para pembaca dan berorientasi pada masyarakat umum. Keaslian atau orisinalitas dalam sastra populer juga sedikit dan lebih banyak merupakan pengulangan dari cerita-cerita yang pernah ada sebelumnya. Terakhir, karya sastra populer lebih menitikberatkan pada alur yang disusun sedemikian rupa sehingga muncullah alur kompleks dengan klimaks yang sesuai dengan apa yang dinantikan oleh para pembaca. Meskipun termarjinalkan dalam dunia kesusastraan, toh sastra populer tetap memiliki penggemarnya sendiri, yang tidak mau bersusah-susah dalam pemahaman mengenai sastra itu sendiri.

Arswendo Atmowiloto dalam novelnya Kau Memanggilku Malaikat, secara kasat mata menghadirkan unsur-unsur yang dapat menjadi indikasi sastra populer. Dari segi pengemasan, gambar pada sampul depan novel ini terpengaruh oleh pop kultur dengan gambar berbasis vektor dan permainan warna putih yang cukup menarik –berbeda dengan sampul depan karya-karya ‘sastra serius’ yang cenderung tidak menarik dan membosankan. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menarik perhatian dan minat para konsumen untuk membaca (atau paling tidak, membeli) novel ini. Penulisan nama penulis dengan huruf berukuran besar juga merupakan salah satu permainan pasar dan menjadi suatu komoditas, mengingat Arswendo adalah seseorang yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat umum di Indonesia.

Akan tetapi, dari segi isi, novel ini tidak terlalu terikat dengan unsur-unsur konvensional sastra populer yang dirumuskan oleh Ken Gelder. Novel ini, meskipun memiliki alur yang kurang kompleks, menggunakan bahasa yang mudah dicerna, sehingga tidak salah apabila novel ini ditujukan kepada masyarakat secara umum. Sebagai hipotesis, novel ini berada dalam grey area, yakni titik tengah antara sastra populer dan ‘sastra serius’.

/2/ Kau Memanggilku Malaikat: Populerkah Malaikat?


Apakah malaikat merasa?
Ah, tentu saja malaikat tak merasa,
aku tidak bisa
menjadi malaikat karena aku merasa
(Ode Untuk Kapal, Agung Dwi Ertato)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pemunculan stereotype terhadap suatu tokoh dalam suatu karya sastra merupakan salah satu indikasi dari sastra populer. Sastra populer pada umumnya tidak ingin menyulitkan pembacanya, termasuk dalam mengimajinasikan tokoh-tokoh yang muncul. Oleh karena itu, digunakanlah suatu acuan dalam penggambaran tokoh yang muncul, yang secara tidak langsung telah disepakati secara umum.

Dalam novel Kau Memanggilku Malaikat karya Arswendo Atmowiloto, dimunculkan suatu tokoh imajiner berupa malaikat yang dapat terlihat kala seseorang telah mendekati ajalnya. Penggambaran tokoh malaikat dalam karya ini cenderung sama dengan malaikat dalam cerita-cerita lain; berpakaian serba putih, bersayap yang berwarna putih pula, dan dapat melintasi ruang dan waktu.

Malaikat yang tidak disebutkan memiliki sebuah nama ini dapat berinteraksi dengan manusia beberapa saat sebelum manusia itu meninggal. Melalui interaksi inilah konflik batin muncul, misalnya saat ia harus menjemput seorang gadis kecil pulang ke haribaan-Nya dan ia melihat begitu banyak yang harus ditinggalkan gadis kecil ini; cinta kasih, rasa ingin tahu, kesedihan serta kesabaran –hal-hal yang tidak dapat dirasakan oleh malaikat sepertinya. Hingga pada suatu saat ia berharap bisa merasakan segala perasaan manusiawi.

Itulah sayap mereka yang masih akan terus membuat terbang, melayang, membayangkan apa saja. Kadang dengan duka, kadang dengan airmata.
Airmata, itulah sebenarnya sayap yang paling penuh makna.
Aku berharap memilikinya.
(Kau Memanggilku Malaikat, hlm. 271)

Dalam salah satu bagian novel ini, malaikat diceritakan menjemput Ife, seorang gadis belia, yang ditembak oleh seorang polisi ketika melawan saat diperkosa. Ia mengetahui segala tentang Ife, bagaimana Ife begitu dipuja di kampungnya dan banyak lelaki yang menaruh hati padanya, hingga suatu malam saat Ife harus mengakhiri usianya. Malaikat tahu apa yang dirasakan oleh Ife, segala rasa bahagia hidup di tengah keluarga dan teman-temannya dan rasa takut bercampur marah ketika diperkosa, namun ia tak bisa merasakannya. Malaikat menginsyafi segala rasa yang diketahuinya itu merupakan rasa yang amat manusiawi, tanpa bisa ia turut merasakan.

“Kenapa kau diam saja?”
“Aku menjemputmu, aku tak bisa menolongmu.”
“Yaaaaa, percuma saja. Kasihan Ibu… kasihan Adik… kasihan Bang Bondan… Yeaaah, kenapa semua lelaki ingin memekosa? Karena saya cantik? Karena saya nafsuin? Kan saya tidak salah apa-apa…”
(Kau Memanggilku Malaikat, hlm. 60)

Sebagai malaikat, ia paham betul dengan apa yang dialami oleh Ife, namun semua berubah setelah ia bertemu dengan Di, gadis kecil yang menurutnya sama sekali berbeda dengan jutaan manusia yang pernah ia jemput selama ini. Di adalah gadis kecil berusia hampir empat tahun. Ia hidup di tengah lingkungan yang serba kekurangan namun sangat cukup membuatnya bahagia dengan memberikan cinta kasih yang tulus; Bapak, Ibu, Nenek, serta Um yang selalu menyayanginya.

Di divonis menderita penyakit di paru-parunya, yang menyebabkan ia tak bisa bertahan hidup lama. Ketika sinyal kematian ditemukan oleh malaikat, Di berhasil membuat malaikat terkejut karena mengatakan bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya, saat Di berada di perut ibu. Padahal, malaikat tidak merasa pernah menjemput Di sebelumnya dan inilah yang membuat Di berbeda dengan manusia-manusia lain.

Di juga bisa tetap bermain-main di sekitar rumahnya, di dekat Bapaknya dan mengikuti Um pergi setelah ia meninggal –suatu hal yang sangat tidak biasa, yang seharusnya ia berada di dimensi lain bersama malaikat untuk menuju tahap kehidupan selanjutnya. Di berbeda dengan manusia lainnya, dan inilah yang menjadi konflik batin dalam diri malaikat. Sampai akhirnya saat Di harus benar-benar pergi –memasuki tahap kehidupan selanjutnya, ia merasa kehilangan.

Kini kutahu, atau kumerasa, bahwa aku yang mendampingi siapa pun, yang bergerak secara serentak dengan berbagai nyawa yang kujemput, juga menyisakan aku yang bisa sendiri, seperti sekarang.
Aku yang sendiri mencoba merasakan, bukan hanya mengerti, apa yang tak pernah kurasakan selama ini: cipratan lumpur kala gerimis, duka tapi bukan tangis, airmata, kangen.
Terutama yang pertama kali kurasakan.
Kehilangan.
(Kau Memanggilku Malaikat, hlm. 269)

Malaikat tidak memiliki kemampuan untuk merasa selayaknya manusia. Melalui berbagai peristiwa ‘penjemputan’ yang ia lakukan, malaikat menjadi semakin tahu betapa nikmat rasa itu, rasa yang membuat kita ada. Melalui perjumpaannya dengan Di, malaikat, yang cenderung tanpa rasa, untuk pertama kalinya merasa kehilangan –sesuatu yang sangat manusiawi.

Hal inilah yang menjadi konflik utama dalam novel ini. Konflik batin yang sangat sederhana, tidak berusaha membawa pembacanya pada alur-alur yang kompleks dan rumit, melainkan alur yang cenderung tanpa klimaks yang berarti. Dalam novel ini, ke-kompleks-an tidak terdapat dalam alur, melainkan dalam diri malaikat itu sendiri. Ini tentu saja kontradiktif dengan sifat karya populer yang cenderung menggemborkan alur yang begitu kompleks dengan klimaks yang, meski mudah ditebak, mampu mengejutkan para pembaca.

Dilihat dari segi bahasa, novel ini menggunakan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat secara umum, namun, apabila memang yang membaca adalah masyarakat awam yang kebutuhan akan hiburannya cukup tinggi, novel ini akan terasa amat membosankan. Jadi, dilihat dari segi isi, novel ini tidak bersifat populer. Kau Memanggilku Malaikat memang sarat menonjolkan unsur kepopulerannya melalui desain sampul, nama penulis yang ditulis dengan huruf besar dan embel-embel dari penulis bestseller, serta pemilihan bahasa yang cenderung mudah dicerna oleh siapa saja. Akan tetapi, dari segi alur novel ini tidak dapat mengelak jika disebut bukan sastra populer karena, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alur dalam novel ini tidak kompleks dan sederhana.

Arswendo rupanya ingin mengemas sesuatu yang tidak populer menjadi ‘terlihat populer’ dan berdaya jual di pasaran. Hal ini berkaitan dengan strategi pemasaran karya-karya ‘sastra serius’ yang selama ini kurang diminati karena gambar sampulnya tidak menarik. Strategi ini cukup bagus, mengingat pola pikir masyarakat yang menilai sebuah buku dari sampulnya. Dengan demikian, suka atau tidak suka, ‘sastra serius’ mampu menyaingi daya jual sastra populer di pasaran.

/3/ Simpulan

Novel Kau Memanggilku Malaikat karya Arswendo Atmowiloto, secara kasat mata terlihat sebagai karya sastra populer yang dapat memikat para pembaca. Hal ini dapat dilihat dari kemasannya yang menarik serta bahasa yang digunakan. Akan tetapi, setelah ditinjau dari segi alur, novel ini cenderung bersifat serius dan sama sekali tidak populer, hanya saja bahasa yang digunakan memang mudah dicerna.

Alur dalam novel ini cenderung antiklimaks, satu hal yang kontradiktif dengan alur yang terdapat dalam karya sastra populer. Untuk dikatakan sebagai sastra populer, novel ini akan dinilai terlalu membosankan dan jauh dari kesan menghibur, melainkan memaksa dengan halus para pembacanya sedikit berpikir mengenai konflik batin yang ada dalam diri tokoh-tokoh yang dimunculkan.

Kau Memanggilku Malaikat sebenarnya merupakan karya ‘sastra serius’ yang dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian konsumen untuk membaca novel ini. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana, novel ini berhasil ‘memainkan’ strategi pemasaran karya ‘sastra serius’ yang selama ini dianggap hanya ‘tersentuh’ oleh golongan-golongan tertentu.

Daftar Pustaka

Atmowiloto, Arswendo. 2009. Kau Memanggilku Malaikat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sastera Hindia Modern Sastera Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ertato, Agung Dwi (ed.). 2010. Jalan Pulang: Buku Puisi MarkasSastra dan PSA-MABIM FIB UI 2009. Depok: 28w Artlab.
Gelder, Ken. 2004. Popular Fiction: The Logics and Practices of Literary Fields. London dan New York: Routledge.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsif Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Apr 15, 2011

Kereta Api


Kereta api itu datang lagi ke dalam mimpi, berjalan tak tentu arah di atas rangkaian rel yang hampir tak terlihat.

Pohon pohon seakan berlari di luar jendela, mengejar apa yang takkan pernah terkejar.

Di dalam suasana begitu menyihir: aroma tembakau dan kopi, warna warna coklat dan kuning, pramusaji yang rupawan dengan gelas gelas tinggi yang tetap seimbang di atas kereta yang melaju.

Kereta berhenti di sebuah kota yang tak kukenal dan mempersilahkanku turun.

Pramusaji rupawan menyarankanku mencari sebuah penginapan. Anda perlu istirahat.

Kereta api kembali melaju meninggalkanku di kota asing ini: pesonanya tak pernah berkurang.

(Juni 2010)

Secangkir Coklat Panas dan Sebuah Gula-gula


aku sudah tidak tertarik dengan coklat hangat ini maaf aku tuang saja milikku ke cangkirmu
kau hanya tersenyum melihat tingkahku muak pada coklat biasanya kau suka sekali coklat
maafkan aku sayang aku terus menuang coklatku
coklat ini memang terlalu banyak untukmu katamu kau tidak sanggup meminum semuanya

cangkirmu telah penuh dengan coklatku namun aku membiarkannya hingga coklatpun meluap tumpah
membasahi meja berkayu cemara. kau tetap tersenyum melihat tingkahku
hati hati sayang. aku membiarkan semuanya tumpah ini lebih baik karena aku sudah tak mau coklat
kini di cangkirku kosong dan di cangkirmu meluap coklat yang berceceran di sana sini

aku ingin merasakan manis tapi bukan coklat aku pun mengeluarkan gula gula dari kantong celana
kau masih tersenyum melihat tingkahku itu gula gula yang sudah lama kau simpan di kantongmu
baru sekarang aku memakannya. manis namun habis dalam sekejap
saat kusadari coklat di cangkirmu telah dingin dan cecerannya mengering di meja berkayu cemara

cangkirku kosong dan cangkirmu penuh coklat yang kini sudah tak bisa lagi diminum
tentu saja aku terlalu sibuk dengan gula gula tadi
aku bisa mengisi cangkirmu dengan coklat hangat lagi agar bisa kauminum tawarmu
tapi aku tak mau tahu. yang kutahu saat ini hanyalah gula gula manis namun tak hangat

sudahlah sayang kau tidak pernah tidak tersenyum mari kutuang coklat lagi ke dalam cangkirmu
tapi aku ingin cangkirku tetap kosong. mengapa kau memaksaku?
yang membekas di diriku kini adalah gula gula tadi bukan coklat hangat
dengan siapa aku berbagi bibir? apa yang kau cari, cinta?

(mei 2010)

Gadis dan Sepeda Tua


Sepeda tua itu terus menemaninya kemanapun ia pergi: melintasi taman ketika gerimis menjemput magrib atau menyeberangi jembatan berundak yang memotong sungai kecil di belakang rumahnya.

Ia tak tahu apa yang membuatnya sangat dekat dengan sepeda tua itu. Sepeda tua begitu setia dengannya, atau sebaliknya ia yang setia dengan sepeda tua.

Mungkin sepeda itu dulu milik ayahnya atau kakeknya, tapi siapa peduli. Ia hanya tahu sepeda tua itu tepat untuknya. Kadang ia ingin mencoba bertanya pada karat yang pula setia soal usia sepeda tuanya, tapi apatah arti usia? Maka ia urungkan niatnya bertanya pada karat atau pada rantai yang sudah mulai cerewet atau pada per yang sudah mulai mencuat dari jok sepedanya; rindu bebas.

Suatu hari ia berjalan melintasi taman sendirian; tanpa sepeda tuanya. Pun pada hari hari berikutnya. Sepeda tua rupanya sudah tak mau menemaninya berjalan jalan, atau sebaliknya ia yang tak mau ditemani berjalan jalan oleh sepeda tua. Ia tidak tahu, ia hanya sudah terbiasa sendirian.

Maka ia berjalan kaki saja, sambil terkadang bersenandung diam diam, menyepak nyepak daun daun kering dengan sepatu bot hitamnya, terkadang pula mengingat perjalanannya yang lalu dengan sepeda tua itu.

Terkadang ia berpikir sepedanya dulu pastilah amat gagah dengan roda roda yang lincah dan pandai menukik, dan ia pun tersenyum diam diam. Waktu terus berganti, gumamnya.

Ia tidak ingin membeli sepeda baru, karena hanya sepeda tua itu yang tepat untuknya, meskipun kini sepeda tua sudah tak hendak dipakainya lagi. Ia tidak membenci sepeda tuanya, ia hanya berpikir inilah saatnya.

Di pojok teras belakang rumahnya sepeda tua itu tersandar, melepas lelah. Ia mungkin merindukan kayuhan si gadis melintasi taman ketika gerimis menjemput magrib atau menyebrangi jembatan yang memotong sungai kecil di belakang rumah. Namun memang benar, inilah saatnya.

(Juni 2010)

Loving Kit


We sell loving kit and other things you may need
We have hearts and lips;
eyes with tears which quiet cheap
We have a great sale on weekend
people comes and loves to bargain
We sell loving kit with special price
that’s why love is always nice

8 April 2011

Bebasari: Sebuah Intipan Nasionalisme di Tengah Ketatnya Kolonialisme



Letakkan kepercayaan di hatimu
Besok bumi merekah di tanganmu

(Gerimis, Sabar Anantaguna)

Berbicara mengenai kesusastraan Indonesia, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran suatu lembaga bernama Balai Pustaka (Balai Poestaka). Balai Pustaka dalam kesusastraan Indonesia memang banyak berperan, terutama dalam penyuntingan dan penerbitan yang terbukti hingga saat ini telah menerbitkan ribuan judul buku mulai dari literatur hingga buku pelajaran. Hal ini memang sesuai dengan tujuan awal didirikannya Balai Pustaka meskipun arahnya agak lain, yakni memberikan pendidikan serta hiburan kepada masyarakat.

Balai Pustaka sendiri merupakan lembaga bentukan kolonial Belanda yang pada saat itu tengah menjajah Indonesia. Dengan adanya gerakan “politik etis” yang digagas oleh Douwess Dekker yang berdampak pada munculnya sekolah-sekolah di negeri ini, lahirlah generasi-generasi melek huruf yang semakin haus akan bacaan. Bersamaan dengan itu, berkembanglah sastra Melayu Tionghoa yang ditulis oleh kaum Cina peranakan yang pada saat itu dianggap ‘picisan’ dan isinya hanya seputar kisah cinta muda-mudi.

Gerakan bersastra tidak hanya muncul dari kaum Cina peranakan yang pada saat itu memang memerlukan bacaan, namun juga dari kaum bumiputera yang sudah mulai mampu berpikir dan menyadari ketidakadilan kolonialisme yang ada. Hal ini tentu saja menjadi suatu keresahan bagi pihak kolonial karena gerakan-gerakan tersebut dikhawatirkan akan menumbuhkan rasa nasionalisme kaum pribumi.

Maka pada tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan Commisie vor de Inlandsche School en Volkslectuur atau “Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat”. Tugas komisi tersebut adalah menyediakan bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuan menurut tertib dunia, dan menjauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri, yang dalam hal ini adalah memerangi bacaan liar yang banyak beredar pada awal abad ke-20 dan juga untuk memerangi penyebaran ideologi tertentu, yaitu dengan menyediakan bacaan ringan yang sehat untuk lulusan sekolah rendah.

Komisi tersebut memang menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan yang bersifat kedaerahan, antara lain dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu. Hal ini dilakukan bukan tanpa tujuan, melainkan agar tidak timbul adanya rasa persatuan antara kaum pribumi dari tiap daerah. Seiring berjalannya waktu, tugas komisi tersebut dianggap terlalu banyak sehingga pemerintah kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yang diberi nama Balai Pustaka pada tahun 1917.

Balai Pustaka memiliki tekad untuk menghadirkan buku atau bacaan yang bermutu tinggi yang dapat membangun moral bangsa karena bacaan-bacaan liar, seperti sastra Cina peranakan dan pers bumiputera yang radikal. Di Balai Pustaka tulisan-tulisan disensor sehingga bacaan yang tidak mengganggu kedudukan pemerintah Belanda itulah yang dapat dimuat. Sebaliknya, bacaan-bacaan yang bersifat mengancam kedudukan pemerintah kolonial tidak lolos sensor dan tidak dapat diterbitkan.

Balai Pustaka memiliki ‘standar’ tersendiri dalam penerbitan buku-bukunya, begitu pula dengan bahasa yang digunakan. Pada saat itu hampir semua buku yang sifatnya baru diterbitkan menggunakan bahasa Melayu. Sebagai contohnya, dapat kita lihat kesamaan bahasa pada buku-buku masa Balai Pustaka seperti Salah Asuhan (Abdul Muis), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), dan sederet roman yang diterbitkan pada masa itu.

Selain sensor terhadap cerita yang bersifat nasionalis dan bahasa yang digunakan, Balai Pustaka juga berhak atas penyuntingan tokoh dan tema. Menurut Sumardjo (dalam Yudiono, 2006), roman Balai Pustaka memiliki ciri umum antara lain bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah tertentu, bersifat romantik-sentimental, karena banyak roman yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami suatu penderitaan yang teramat, bergaya bahasa seragam sehingga tidak berkembang gaya bahasa perorangan, dan bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempermasalahkan masalah politik, agama, dan lain sebagainya.

Di tengah keketatan itulah, pada tahun 1928 Roestam Effendi berhasil merampungkan naskah drama berjudul Bebasari dan diterbitkan melalui Balai Pustaka. Secara keseluruhan, sebenarnya tidak ada yang mencolok pada drama tersebut. Bebasari mengisahkan perjuangan Budjangga menyelamatkan Bebasari yang ditawan oleh Rahwana. Kisah ini mirip dengan kisah Ramayana yang juga mengisahkan penculikan Rahwana terhadap Sinta yang kemudian diselamatkan oleh Rama. Ramayana sendiri pada saat itu telah menjadi cerita wajar yang telah dikenal masyarakat secara luas melalui tokoh pewayangan. Oleh sebab itu editor Balai Pustaka serta merta meloloskan drama ini untuk disebarluaskan kepada masyarakat.

Akan tetapi apabila diperhatikan lebih cermat, Bebasari sebenarnya bukan sekadar cerita adaptasi Ramayana belaka, melainkan sebuah paradoks atas keadaan yang menimpa tanah air pada masa itu. Bebasari yang berasal dari kata bebas, merupakan analogi dari tanah air yang menunggu dibebaskan oleh Budjangga yang tak lain berasal dari kata bujangan yang memiliki arti belum pernah memiliki istri yang dalam hal ini adalah kemerdekaan. Sedangkan Rahwana sendiri merupakan penjelmaan dari pemerintah kolonial yang merebut kebebasan dari bujangan tersebut.

Meskipun pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh drama ini terlihat sederhana dan tidak semua golongan mampu menangkap pesan tersebut, namun sudah cukup menunjukkan adanya nasionalisme dalam kesusastraan Indonesia pada masa itu. Roestam Effendi sebagai pengarang, menangkap adanya realita yang tengah terjadi dan menyampaikannya melalui karya sastra untuk disampaikan kepada para pembaca. Melalui drama ini Roestam Effendi berusaha menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada bumi pertiwi dan mengharapkan adanya suatu gerakan dari kaum pribumi untuk memberontak dari rezim kolonialisme.

Menyinggung perihal nasionalisme, sebenarnya pada tahun yang sama Bebasari diterbitkan, muncul hasrat persatuan di kalangan pemuda yang diutarakan pada Kongres Pemuda tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.


Dari sinilah, meskipun masih dalam masa penjajahan Belanda, sudah terlihat adanya kesadaran nasional khususnya dari kaum pemuda Indonesia. Berbeda dengan Bebasari yang bergerilya melawan kolonialisme, Sumpah Pemuda secara gamblang menyerukan adanya tindak perlawanan dan rasa nasionalisme yang muncul di kalangan mereka.

Terlepas dari itu, sikap Bebasari yang diam-diam juga tidak dapat disalahkan karena gerakan nasionalisme selain ditunjukkan secara lisan juga dapat ditunjukkan melalui tulisan dan satu-satunya cara agar tulisan tersebut dapat terpublikasikan hanyalah dengan memainkan analogi yang telah dibahas sebelumnya.

Lolosnya Bebasari dari sensor Balai Pustaka selain menimbulkan kebanggaan atas kecerdikan kaum pribumi juga menimbulkan suatu pertanyaan bagi kredibilitas penyuntingan Balai Pustaka. Apabila memang Bebasari diloloskan karena dianggap tidak mengancam eksistensi kolonialisme pada masa itu dan hanya sekadar saduran dari Ramayana belaka, apakah mungkin seorang penulis menyadur suatu kisah yang konon versi aslinya merupakan puisi terpanjang yang pernah ada menjadi sebuah drama singkat sepanjang 59 halaman tanpa maksud tertentu?

Tentunya pada masa itu yang dipikirkan untuk harus dilakukan oleh para penyunting Balai Pustaka adalah menyunting bacaan apapun yang terang-terangan berbau nasionalisme. Di tengah banyaknya buku-buku yang menanti untuk disunting diterbitkan Balai Pustaka, sebuah lakon Bebasari yang sebetulnya penuh dengan analogi dirasa sudah cukup memenuhi syarat dengan tidak menyinggung apapun mengenai kolonialisme maupun nasionalisme.

Kita juga tidak tahu apakah ada permainan di balik lolosnya Bebasari apabila memang dalam drama tersebut disadari adanya analogi-analogi yang menyindir keadaan zaman, mengingat penyunting Balai Pustaka pada waktu itu juga adalah kaum pribumi, lebih tepatnya Nur Sutan Iskandar. Yang jelas, kehadiran Bebasari pada masa itu, entah disadari atau tidak, telah menjadi sumbangan bagi gerakan nasionalisme pada masa penjajahan Belanda.

Perjuangan yang ditempuh bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan memang tidak mudah. Hal ini dapat dilihat dari drama Bebasari yang harus menggunakan analogi untuk menyampaikan rasa memiliki atas negeri yang sebenarnya sudah dimiliki. Sastra memang tak lepas dari apa yang disebut dengan perjuangan, sebaliknya, perjuangan selain dilakukan dengan cara anarki juga dapat dilakukan dengan cara bersastra. Maka tak salah jika dikatakan bahwa sastra juga berperan dalam membangun rasa nasionalisme untuk meraih kemerdekaan yang telah lama dinantikan.

Kakanda, dari zaman berganti zaman.
Tatap hatiku menanti tuan.
Kakanda bakal membawa merdeka.
Sebab tjintamu kepada loka.

(Bebasari, hlm. 59)

Saman: Dan Luapan Hasrat Itu pun Menjadi Sebuah Kanon




apa yang akan menghiasi
wajah sastra kita
setelah seksualitas
dan homoseksualitas
menjadi komoditas

(Seks Siti Jenar, Asep Sambodja)

Sekitar satu dekade yang lalu, dunia sastra Indonesia dihebohkan dengan gebrakan para penulis wanita melalui tulisan-tulisannya yang kemudian sering disebut dengan istilah sastra wangi. Istilah sastra wangi sendiri sebenarnya merupakan sebuah label yang diberikan para sastrawan pria kepada wanita-wanita tersebut yang, meskipun asosiasinya kurang baik, mengacu kepada tulisan-tulisan mereka yang dianggap provokatif.

Alasan tersebut dirasa cukup masuk akal, karena tulisan-tulisan yang mereka hasilkan mampu meretas batas apa yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan, sekali pun dalam sebuah karya sastra. Seperti yang pernah dikatakan Saut Situmorang dalam Politik Kanonisasi Sastra 3, sastra wangi banyak mengangkat seksualitas yang dijadikan isu nomor satu para perempuan muda urban Indonesia.

Seks memang menjadi unsur yang paling dominan dalam sastra wangi. Meskipun pada tahun 70-an Motinggo Boesye dan beberapa penulis lainnya sempat memberi unsur seks dalam tulisannya, namun tidak sevulgar sastra wangi yang berani mencapai daerah-daerah yang sangat intim. Hal inilah yang menjadikan karya sastra wangi terlihat berbeda dengan karya-karya penulis wanita lainnya semisal Nh. Dini, Mira W., atau S. Mara Gd.

Adalah Saman (1998) karya Ayu Utami yang dapat dikatakan sebagai pionir dalam lahirnya sastra wangi di Indonesia. Novel yang memenangkan Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 ini berbicara mengenai seks, cinta, politik, dan agama serta perasaan-perasaan yang saling bertaut antartokoh tanpa adanya beban dan bebas sebebas-bebasnya.

Saman bercerita tentang persahabatan empat wanita; Shakuntala, Cok, Yasmin dan Laila yang, dua di antaranya, menyimpan rasa kagum pada seorang pria bernama Saman. Secara keseluruhan alur yang disajikan novel ini cukup ringan, akan tetapi permasalahan-permasalahan yang muncul dijelaskan dengan kompleks dan blak-blakan. Unsur seks yang menonjol dan dijelaskan tanpa malu-malu menjadi daya pikat tersendiri dari Saman, misalnya yang terdapat pada kutipan di bawah ini:

Saman,
Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
(Saman, 196)

Sebuah pernyataan jujur yang mencengangkan! Bahkan ejakulasi pun disulap menjadi hal wajar yang layak dikonsumsi oleh publik. Hal ini membuat Saman terlihat outstanding di antara karya-karya lainnya. Maka tak heran, tak lama setelah kemunculan Saman, muncul sederet karya sastra sejenis lainnya dari para penulis wanita. Sebut saja Dewi “Dee” Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki hingga Happy Salma yang turut menyumbangkan karya-karya berbau seks yang seakan-akan ingin menunjukkan inilah sisi liar dari seorang wanita. Dan Saman pun menjadi sebuah kanon.

Berbicara mengenai Saman dan sastra wangi, tidak dapat dilepaskan dari aliran feminis yang sebenarnya (tentu saja) telah lahir jauh sebelum Saman sendiri terbit. Feminisme lahir di Amerika pada tahun 1848 dalam Women’s Great Rebellion yang menghasilkan sebuah jargon: “all men and women are created equal!”. Dari sinilah paham feminis menyebar ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, emansipasi terhadap wanita lahir sejak pemberontakan yang dipelopori oleh R. A. Kartini.

Dalam aliran feminisme wanita mencoba memberontak budaya patriarki yang berlaku dan menunjukkan kepada kaum adam bahwa dirinya juga mampu bergerak secara independen. Patriarki merupakan sistem di mana seorang wanita kedudukannya selalu di bawah pria dan pria berhak mengatur sepenuhnya atas apa pun yang terjadi termasuk yang menyangkut kehidupan wanita tersebut. Sistem tersebut berlangsung secara turun temurun dan tidak diketahui jelas kapan pastinya sistem tersebut muncul. Akan tetapi, dalam praktiknya, wanita selalu tidak bisa melawan budaya tersebut, khususnya pada masa sebelum tuntutan atas kesetaraan gender muncul.

Paska isu emansipasi merebak, para wanita mulai berani melakukan pembuktian diri, tak terkecuali dalam dunia sastra. Dari karya-karya mereka dapat dilihat ada hasrat dan cita-cita disimpan di dalamnya, misalnya pada La Barka dan Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini yang memiliki inti yang sama: keinginan. Karya-karya tersebut menunjukkan hasrat seorang wanita untuk dapat melakukan sesuatu yang dianggap tabu untuk dilakukan namun mereka sendiri sangat ingin melakukannya.

Pada Saman terjadi hal yang sama, namun hasrat yang diungkapkan di sini bukan lagi sekadar cita-cita seperti yang ditunjukkan karya-karya Nh. Dini. Hal ini wajar terjadi, karena ketika Saman lahir, isu kesetaraan gender telah menjadi kompleks dan wanita urban –seperti Ayu Utami – dengan kehidupan metroseksualnya, tidak lagi bercita-cita belajar di luar negeri, karena hal itu saat ini sudah menjadi wajar. Oleh karena itu, para wanita urban beralih ke hasrat lain yang tak ada matinya, yaitu cinta dan seks yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karya sastra. Sesuai dengan pendapat Jung dan Freud, karya seni adalah bentuk lain dari penyaluran cinta dan keinginan seks.

Melalui karya-karyanya, para penulis sastra wangi mencoba menunjukkan bahwa wanita tidak hanya sebagai objek pemuas nafsu belaka, melainkan juga sebagai subjek. Unsur-unsur seks yang sengaja ditonjolkan dan terkesan provokatif seperti yang ada pada kutipan Saman sebelumnya mempertegas bahwa wanita juga bisa berinisiatif dan cenderung menghindari masokhisme atau kepasifan. Hal inilah yang yang menurut Deutcsh, merupakan agresivitas yang ada di pada unsur psike setiap wanita.

Seiring dengan berkembangnya zaman yang menuntut adanya penyegaran dalam berbagai bidang, Ayu Utami mencoba memberikan penyegaran tersebut dengan membicarakan seks yang selama ini dianggap tabu untuk dijelaskan secara gamblang. Tak dapat dipungkiri, membaca sesuatu yang berbau seks dapat menjadi hiburan tersendiri baik bagi pria maupun wanita. Saman pun berhasil menyita perhatian dunia sastra Indonesia pada masa itu.

Setelah keberhasilan Saman, muncul berbagai penulis wanita dengan karya-karyanya yang juga mengangkat seks sebagai tema utama mengatasnamakan feminisme. Saman telah menjadi sumber ide bagi penulis-penulis wanita lain untuk menulis sebuah karya yang memiliki kekuatan pada unsur seksualnya. Lucunya, kebanyakan dari mereka sepertinya tidak hanya mengandalkan karya sastra yang mereka hasilkan, tapi juga penampilan fisik mereka sebagai wanita metroseksual yang menunjang keberhasilan karya mereka. Penulis-penulis tersebut tidak hanya berasal dari dunia sastra maupun jurnalistik, tetapi juga dari dunia perfilman dan model. Sayangnya, hal ini semakin mempertegas kesan hanya ikut-ikutan dan bahwa mereka sebenarnya tidak menjual karya, melainkan fisik belaka.
Lebih buruknya lagi, sastra wangi sempat dituding melakukan tindak kapitalisme di dalam dunia sastra. Jadi merebaknya sastra wangi bukan merupakan sebuah pembaruan di dalam dunia sastra, melainkan semata-mata untuk mengejar permintaan pasar. Hal ini tentu saja menimbulkan kekecewaan yang teramat dalam bagi dunia sastra Indonesia.

Maka sastra Indonesia pada masa itu dipenuhi dengan luapan hasrat seksual di mana-mana dan penulis-penulis wanita yang semuanya cantik. Sastra wangi pun menjadi sebuah fenomena dalam dunia sastra. Sayangnya, kejayaan sastra wangi tidak bertahan lama. Hingga saat ini masih belum ditemukan lagi karya baru dari penulis cantik yang mengandalkan hiperboria seksual.

Bagaimanapun, Saman memang telah menjadi kanon dalam munculnya sastra wangi di Indonesia. Kemunculannya yang membawa warna tersendiri semakin memperkaya khasanah sastra Indonesia dan membawa sastra Indonesia kepada suatu perubahan: keberanian bersuara dan menerobosan terhadap apa yang selama ini dianggap tabu.

Melalui Saman dan karya-karya sejenis lainnya juga kita dapat mengetahui keadaan perkembangan sastra Indonesia, sesuai dengan dalil Goenawan Mohamad “…selama keintiman dengan khalayak belum pulih kembali dalam diri seorang pengarang, selama hubungan antara kesusastraan dengan masyarakatnya masih belum tenteram, selama kesusastraan masih belum bebas dari sikapnya yang self-conscious dan kikuk, selama itu pula banyak hal takut untuk dibicarakan atau sebaliknya terlalu keras diteriakkan –termasuk seks.

“Pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya,
kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal.”
(Testimoni Ignas Kleden dalam Saman)

Bunga-bunga Kertas


“Sampaikan salamku, Dear, pada kedua orangtuamu, ini rindu…”
Ia masih sempat menatap mataku dalam dalam sambil tersenyum saat aku menutup pintu mobil dan berlari kecil ke teras rumahku.

I’ll be seeing you, Daddy…take care…”, ucapku setengah teriak, setengah tidak memperhatikan wajahnya lagi yang semakin lama semakin tertinggal jauh di belakangku.

Selalu ada sedikit rasa sesak di setiap perpisahan, setiap perjumpaan, antara ia dan aku. Ia selalu bisa membuat pertemuan-pertemuan yang selalu saja singkat menjadi penuh makna, entah dengan cerita cerita masa lalunya yang menyedihkan, pengalamannya yang sepertinya tiada batas, tentang anjing peliharaannya yang kemudian ia lepas, klien yang tak kunjung membayar tunggakan, Anton Chekov, atau buah buahan langka yang pernah ia makan. Ia ceritakan seluruh dunianya padaku, seakan kepalaku yang kecil ini sanggup mencerna semua kisah kisahnya.

Mungkin ini karena kesamaan, pikirku suatu ketika. Ia dan aku lahir di bulan yang sama, di tanggal yang sama pula, tapi apa hanya karena itu? Tentu saja ia dan aku juga memiliki kesukaan yang sama di bidang seni, kami seringkali mengunjungi pameran lukisan atau sekadar melihat lihat buku buku bagus di toko buku –sesekali aku dibelikan beberapa buku sekaligus, dan diminta menceritakannya kembali setelah selesai membaca, membuat semacam diskusi kecil, kemudian ia akan melihat lihat buku gambarku, dan menawari aku untuk mengikuti kursus ini itu.

Ia tinggal berdua di sebuah rumah yang tidak terlalu mewah yang berjarak ratusan kilometer dari rumahku. Berdua, dengan anjingnya, sebelum ia memutuskan melepas anjing itu dengan alasan kemanusiaan, atau kehewanan? Ia menyiapkan segalanya seorang diri; menyiapkan makanan, membereskan rumah, bahkan memotong rumput. Suatu ketika pernah aku berpikir untuk mengajaknya tinggal bersamaku di rumahku, namun aku segera tahu itu tidak mungkin. Dapat aku bayangkan ia akan menolak tawaranku dengan halus sambil tersenyum tipis, kemudian meyakinkan diriku bahwa ia akan selalu baik-baik saja.

Seminggu yang lalu ia terjatuh ketika sedang bekerja. Kecelakaan kecil yang pada awalnya ia jadikan bahan gurauan itu ternyata berakibat cukup parah. Ada darah menggumpal di dekat paru parunya, entah apa namanya, yang mengakibatkan ia selalu kesakitan setiap bergerak. Ia tunjukkan hasil rontgennya kepadaku sambil tertawa kecil, menceritakan dirinya yang menjadi takut bersin dan batuk karena akan menambah rasa sakit di daerah sekitar dadanya.

Sejak kejadian itu aku menjadi lebih sering menghubunginya. Aku rajin mengiriminya pesan atau menelponnya sekadar untuk mengingatkan makan. Aku begitu khawatir dengan keadaannya, ditambah menyadari kenyataan bahwa ia tinggal seorang diri dan tak ada seorang pun yang akan merawatnya di rumah ketika ia sakit. Aku takut. Takut sesuatu yang buruk menimpa dirinya, terutama ketika ia sedang sendirian. Suatu malam ia datang ke dalam mimpiku, mengenakan jubah putih yang indah dan mencium keningku –mimpi yang tentu saja tidak menyenangkan untuk diingat dan semakin menambah kegelisahanku.

Dear, tolong senandungkan This Land is Mine untukku, would you?”, pintanya suatu pagi. Maka, sesuai permintaannya aku bersenandung diam diam, sambil menahan air mata yang sudah mulai membasahi bulu bulu mata.

Sejak kecil aku meyakini bahwa ia tidak bisa sakit. Ia akan selalu ada bersamaku, mengikuti perkembanganku dari masa ke masa, melihat aku tumbuh. Masih terekam dengan jelas dalam ingatanku saat ia menghadiri acara wisuda ketika aku lulus sekolah menengah. Meskipun hadir hanya sebentar, ia memberikan tepuk tangan paling keras saat namaku disebut, memotretku berulang ulang ketika aku berada di atas altar menerima piagam penghargaan. Dan ia akan terus tetap seperti itu saat aku menjadi sarjana nanti, datang lagi ke acara wisudaku, terus menyemangati aku saat aku mulai disibukkan dengan dunia kerja, dan melihat aku menikah. Namun, semakin dewasa aku semakin mengerti bahwa ia juga seorang manusia yang bisa mengalami sakit, sama sepertiku yang terkadang demam atau pilek.

Suatu ketika aku mendapat kabar bahwa ia harus masuk rumah sakit. Separah itukah ia hingga harus masuk rumah sakit? Pikiranku yang terlalu naïf membuatku semakin berpikir yang tidak tidak. Ia tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya, kecuali tes darah dan rontgent yang dilakukannya beberapa hari lalu itu. Mungkin ini ada hubungannya dengan gumpalan darah yang menjadi ketakutanku selama ini, mungkin juga tidak. Sesampainya aku di rumah sakit ia masih tidur. Aku tak tahu pasti apa penyakit yang ia derita, tapi keadaannya sekarang sungguh membuatku merasa amat sedih. Aku memperhatikan wajahnya dengan seksama, ada keriput keriput halus di keningnya.

Daddy, lihat itu bunga bunga kertas di balik jendela. Mereka indah indah…”

***

Pagi itu aku datang ke acara pemakamannya dengan hati yang berserak. Aku tak tahu apa warna kemeja yang kugunakan, entah hitam, entah biru tua, aku tak lagi bisa membedakan keduanya. Bagaimanapun ia pergi terlalu cepat. Ia bahkan tak pernah bercerita mengenai penyakit yang ia derita, tak ada yang pernah memberitahuku. Terlalu banyak kenangan yang tersisa, terlalu banyak rencana yang tertunda. Kemarin pagi aku masih bersamanya, ah, betapa fananya waktu yang selalu pergi dengan tergesa.

Aku menggenggam seikat bunga aster dengan tangan gemetar, bersiap melihat jenazahnya, memberi penghormatan terakhir. Ah, lihat, betapa jenazah yang tenang. Bulir bulir airmata mulai menetes membasahi ujung kemeja, sementara beberapa orang pelayat menatapku dengan sendu.

How come, Dear….”

Seseorang memelukku dari belakang, membisikiku agar aku menahan tangis. Bagaimana aku bisa menahan tangis untuk seseorang yang paling kucintai? Ia mati muda, meninggalkan segala cinta dan cita cita. Rasanya seperti baru kemarin aku datang di hari kelahirannya, melihatnya menangis masih dalam wujud bayi merah, membisikkan doa doa ke telinganya yang kecil –segala doa yang terbaik yang pernah ada untuknya, mengamatinya tumbuh meski hanya dari jauh, demi menjaga perasaan orangtuanya.

Airmataku kering oleh hembusan angin yang melintasi ruangan, memenuhi sela sela dinding dan kaca, menerobos celah celah, dan lepas menuju langit, setelah sempat menggoyang ranting ranting bunga bunga kertas di halaman rumahnya.


14 Februari 2011