Apr 15, 2011

Saman: Dan Luapan Hasrat Itu pun Menjadi Sebuah Kanon




apa yang akan menghiasi
wajah sastra kita
setelah seksualitas
dan homoseksualitas
menjadi komoditas

(Seks Siti Jenar, Asep Sambodja)

Sekitar satu dekade yang lalu, dunia sastra Indonesia dihebohkan dengan gebrakan para penulis wanita melalui tulisan-tulisannya yang kemudian sering disebut dengan istilah sastra wangi. Istilah sastra wangi sendiri sebenarnya merupakan sebuah label yang diberikan para sastrawan pria kepada wanita-wanita tersebut yang, meskipun asosiasinya kurang baik, mengacu kepada tulisan-tulisan mereka yang dianggap provokatif.

Alasan tersebut dirasa cukup masuk akal, karena tulisan-tulisan yang mereka hasilkan mampu meretas batas apa yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan, sekali pun dalam sebuah karya sastra. Seperti yang pernah dikatakan Saut Situmorang dalam Politik Kanonisasi Sastra 3, sastra wangi banyak mengangkat seksualitas yang dijadikan isu nomor satu para perempuan muda urban Indonesia.

Seks memang menjadi unsur yang paling dominan dalam sastra wangi. Meskipun pada tahun 70-an Motinggo Boesye dan beberapa penulis lainnya sempat memberi unsur seks dalam tulisannya, namun tidak sevulgar sastra wangi yang berani mencapai daerah-daerah yang sangat intim. Hal inilah yang menjadikan karya sastra wangi terlihat berbeda dengan karya-karya penulis wanita lainnya semisal Nh. Dini, Mira W., atau S. Mara Gd.

Adalah Saman (1998) karya Ayu Utami yang dapat dikatakan sebagai pionir dalam lahirnya sastra wangi di Indonesia. Novel yang memenangkan Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 ini berbicara mengenai seks, cinta, politik, dan agama serta perasaan-perasaan yang saling bertaut antartokoh tanpa adanya beban dan bebas sebebas-bebasnya.

Saman bercerita tentang persahabatan empat wanita; Shakuntala, Cok, Yasmin dan Laila yang, dua di antaranya, menyimpan rasa kagum pada seorang pria bernama Saman. Secara keseluruhan alur yang disajikan novel ini cukup ringan, akan tetapi permasalahan-permasalahan yang muncul dijelaskan dengan kompleks dan blak-blakan. Unsur seks yang menonjol dan dijelaskan tanpa malu-malu menjadi daya pikat tersendiri dari Saman, misalnya yang terdapat pada kutipan di bawah ini:

Saman,
Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
(Saman, 196)

Sebuah pernyataan jujur yang mencengangkan! Bahkan ejakulasi pun disulap menjadi hal wajar yang layak dikonsumsi oleh publik. Hal ini membuat Saman terlihat outstanding di antara karya-karya lainnya. Maka tak heran, tak lama setelah kemunculan Saman, muncul sederet karya sastra sejenis lainnya dari para penulis wanita. Sebut saja Dewi “Dee” Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki hingga Happy Salma yang turut menyumbangkan karya-karya berbau seks yang seakan-akan ingin menunjukkan inilah sisi liar dari seorang wanita. Dan Saman pun menjadi sebuah kanon.

Berbicara mengenai Saman dan sastra wangi, tidak dapat dilepaskan dari aliran feminis yang sebenarnya (tentu saja) telah lahir jauh sebelum Saman sendiri terbit. Feminisme lahir di Amerika pada tahun 1848 dalam Women’s Great Rebellion yang menghasilkan sebuah jargon: “all men and women are created equal!”. Dari sinilah paham feminis menyebar ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, emansipasi terhadap wanita lahir sejak pemberontakan yang dipelopori oleh R. A. Kartini.

Dalam aliran feminisme wanita mencoba memberontak budaya patriarki yang berlaku dan menunjukkan kepada kaum adam bahwa dirinya juga mampu bergerak secara independen. Patriarki merupakan sistem di mana seorang wanita kedudukannya selalu di bawah pria dan pria berhak mengatur sepenuhnya atas apa pun yang terjadi termasuk yang menyangkut kehidupan wanita tersebut. Sistem tersebut berlangsung secara turun temurun dan tidak diketahui jelas kapan pastinya sistem tersebut muncul. Akan tetapi, dalam praktiknya, wanita selalu tidak bisa melawan budaya tersebut, khususnya pada masa sebelum tuntutan atas kesetaraan gender muncul.

Paska isu emansipasi merebak, para wanita mulai berani melakukan pembuktian diri, tak terkecuali dalam dunia sastra. Dari karya-karya mereka dapat dilihat ada hasrat dan cita-cita disimpan di dalamnya, misalnya pada La Barka dan Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini yang memiliki inti yang sama: keinginan. Karya-karya tersebut menunjukkan hasrat seorang wanita untuk dapat melakukan sesuatu yang dianggap tabu untuk dilakukan namun mereka sendiri sangat ingin melakukannya.

Pada Saman terjadi hal yang sama, namun hasrat yang diungkapkan di sini bukan lagi sekadar cita-cita seperti yang ditunjukkan karya-karya Nh. Dini. Hal ini wajar terjadi, karena ketika Saman lahir, isu kesetaraan gender telah menjadi kompleks dan wanita urban –seperti Ayu Utami – dengan kehidupan metroseksualnya, tidak lagi bercita-cita belajar di luar negeri, karena hal itu saat ini sudah menjadi wajar. Oleh karena itu, para wanita urban beralih ke hasrat lain yang tak ada matinya, yaitu cinta dan seks yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karya sastra. Sesuai dengan pendapat Jung dan Freud, karya seni adalah bentuk lain dari penyaluran cinta dan keinginan seks.

Melalui karya-karyanya, para penulis sastra wangi mencoba menunjukkan bahwa wanita tidak hanya sebagai objek pemuas nafsu belaka, melainkan juga sebagai subjek. Unsur-unsur seks yang sengaja ditonjolkan dan terkesan provokatif seperti yang ada pada kutipan Saman sebelumnya mempertegas bahwa wanita juga bisa berinisiatif dan cenderung menghindari masokhisme atau kepasifan. Hal inilah yang yang menurut Deutcsh, merupakan agresivitas yang ada di pada unsur psike setiap wanita.

Seiring dengan berkembangnya zaman yang menuntut adanya penyegaran dalam berbagai bidang, Ayu Utami mencoba memberikan penyegaran tersebut dengan membicarakan seks yang selama ini dianggap tabu untuk dijelaskan secara gamblang. Tak dapat dipungkiri, membaca sesuatu yang berbau seks dapat menjadi hiburan tersendiri baik bagi pria maupun wanita. Saman pun berhasil menyita perhatian dunia sastra Indonesia pada masa itu.

Setelah keberhasilan Saman, muncul berbagai penulis wanita dengan karya-karyanya yang juga mengangkat seks sebagai tema utama mengatasnamakan feminisme. Saman telah menjadi sumber ide bagi penulis-penulis wanita lain untuk menulis sebuah karya yang memiliki kekuatan pada unsur seksualnya. Lucunya, kebanyakan dari mereka sepertinya tidak hanya mengandalkan karya sastra yang mereka hasilkan, tapi juga penampilan fisik mereka sebagai wanita metroseksual yang menunjang keberhasilan karya mereka. Penulis-penulis tersebut tidak hanya berasal dari dunia sastra maupun jurnalistik, tetapi juga dari dunia perfilman dan model. Sayangnya, hal ini semakin mempertegas kesan hanya ikut-ikutan dan bahwa mereka sebenarnya tidak menjual karya, melainkan fisik belaka.
Lebih buruknya lagi, sastra wangi sempat dituding melakukan tindak kapitalisme di dalam dunia sastra. Jadi merebaknya sastra wangi bukan merupakan sebuah pembaruan di dalam dunia sastra, melainkan semata-mata untuk mengejar permintaan pasar. Hal ini tentu saja menimbulkan kekecewaan yang teramat dalam bagi dunia sastra Indonesia.

Maka sastra Indonesia pada masa itu dipenuhi dengan luapan hasrat seksual di mana-mana dan penulis-penulis wanita yang semuanya cantik. Sastra wangi pun menjadi sebuah fenomena dalam dunia sastra. Sayangnya, kejayaan sastra wangi tidak bertahan lama. Hingga saat ini masih belum ditemukan lagi karya baru dari penulis cantik yang mengandalkan hiperboria seksual.

Bagaimanapun, Saman memang telah menjadi kanon dalam munculnya sastra wangi di Indonesia. Kemunculannya yang membawa warna tersendiri semakin memperkaya khasanah sastra Indonesia dan membawa sastra Indonesia kepada suatu perubahan: keberanian bersuara dan menerobosan terhadap apa yang selama ini dianggap tabu.

Melalui Saman dan karya-karya sejenis lainnya juga kita dapat mengetahui keadaan perkembangan sastra Indonesia, sesuai dengan dalil Goenawan Mohamad “…selama keintiman dengan khalayak belum pulih kembali dalam diri seorang pengarang, selama hubungan antara kesusastraan dengan masyarakatnya masih belum tenteram, selama kesusastraan masih belum bebas dari sikapnya yang self-conscious dan kikuk, selama itu pula banyak hal takut untuk dibicarakan atau sebaliknya terlalu keras diteriakkan –termasuk seks.

“Pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya,
kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal.”
(Testimoni Ignas Kleden dalam Saman)

No comments: