Apr 15, 2011

Bunga-bunga Kertas


“Sampaikan salamku, Dear, pada kedua orangtuamu, ini rindu…”
Ia masih sempat menatap mataku dalam dalam sambil tersenyum saat aku menutup pintu mobil dan berlari kecil ke teras rumahku.

I’ll be seeing you, Daddy…take care…”, ucapku setengah teriak, setengah tidak memperhatikan wajahnya lagi yang semakin lama semakin tertinggal jauh di belakangku.

Selalu ada sedikit rasa sesak di setiap perpisahan, setiap perjumpaan, antara ia dan aku. Ia selalu bisa membuat pertemuan-pertemuan yang selalu saja singkat menjadi penuh makna, entah dengan cerita cerita masa lalunya yang menyedihkan, pengalamannya yang sepertinya tiada batas, tentang anjing peliharaannya yang kemudian ia lepas, klien yang tak kunjung membayar tunggakan, Anton Chekov, atau buah buahan langka yang pernah ia makan. Ia ceritakan seluruh dunianya padaku, seakan kepalaku yang kecil ini sanggup mencerna semua kisah kisahnya.

Mungkin ini karena kesamaan, pikirku suatu ketika. Ia dan aku lahir di bulan yang sama, di tanggal yang sama pula, tapi apa hanya karena itu? Tentu saja ia dan aku juga memiliki kesukaan yang sama di bidang seni, kami seringkali mengunjungi pameran lukisan atau sekadar melihat lihat buku buku bagus di toko buku –sesekali aku dibelikan beberapa buku sekaligus, dan diminta menceritakannya kembali setelah selesai membaca, membuat semacam diskusi kecil, kemudian ia akan melihat lihat buku gambarku, dan menawari aku untuk mengikuti kursus ini itu.

Ia tinggal berdua di sebuah rumah yang tidak terlalu mewah yang berjarak ratusan kilometer dari rumahku. Berdua, dengan anjingnya, sebelum ia memutuskan melepas anjing itu dengan alasan kemanusiaan, atau kehewanan? Ia menyiapkan segalanya seorang diri; menyiapkan makanan, membereskan rumah, bahkan memotong rumput. Suatu ketika pernah aku berpikir untuk mengajaknya tinggal bersamaku di rumahku, namun aku segera tahu itu tidak mungkin. Dapat aku bayangkan ia akan menolak tawaranku dengan halus sambil tersenyum tipis, kemudian meyakinkan diriku bahwa ia akan selalu baik-baik saja.

Seminggu yang lalu ia terjatuh ketika sedang bekerja. Kecelakaan kecil yang pada awalnya ia jadikan bahan gurauan itu ternyata berakibat cukup parah. Ada darah menggumpal di dekat paru parunya, entah apa namanya, yang mengakibatkan ia selalu kesakitan setiap bergerak. Ia tunjukkan hasil rontgennya kepadaku sambil tertawa kecil, menceritakan dirinya yang menjadi takut bersin dan batuk karena akan menambah rasa sakit di daerah sekitar dadanya.

Sejak kejadian itu aku menjadi lebih sering menghubunginya. Aku rajin mengiriminya pesan atau menelponnya sekadar untuk mengingatkan makan. Aku begitu khawatir dengan keadaannya, ditambah menyadari kenyataan bahwa ia tinggal seorang diri dan tak ada seorang pun yang akan merawatnya di rumah ketika ia sakit. Aku takut. Takut sesuatu yang buruk menimpa dirinya, terutama ketika ia sedang sendirian. Suatu malam ia datang ke dalam mimpiku, mengenakan jubah putih yang indah dan mencium keningku –mimpi yang tentu saja tidak menyenangkan untuk diingat dan semakin menambah kegelisahanku.

Dear, tolong senandungkan This Land is Mine untukku, would you?”, pintanya suatu pagi. Maka, sesuai permintaannya aku bersenandung diam diam, sambil menahan air mata yang sudah mulai membasahi bulu bulu mata.

Sejak kecil aku meyakini bahwa ia tidak bisa sakit. Ia akan selalu ada bersamaku, mengikuti perkembanganku dari masa ke masa, melihat aku tumbuh. Masih terekam dengan jelas dalam ingatanku saat ia menghadiri acara wisuda ketika aku lulus sekolah menengah. Meskipun hadir hanya sebentar, ia memberikan tepuk tangan paling keras saat namaku disebut, memotretku berulang ulang ketika aku berada di atas altar menerima piagam penghargaan. Dan ia akan terus tetap seperti itu saat aku menjadi sarjana nanti, datang lagi ke acara wisudaku, terus menyemangati aku saat aku mulai disibukkan dengan dunia kerja, dan melihat aku menikah. Namun, semakin dewasa aku semakin mengerti bahwa ia juga seorang manusia yang bisa mengalami sakit, sama sepertiku yang terkadang demam atau pilek.

Suatu ketika aku mendapat kabar bahwa ia harus masuk rumah sakit. Separah itukah ia hingga harus masuk rumah sakit? Pikiranku yang terlalu naïf membuatku semakin berpikir yang tidak tidak. Ia tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya, kecuali tes darah dan rontgent yang dilakukannya beberapa hari lalu itu. Mungkin ini ada hubungannya dengan gumpalan darah yang menjadi ketakutanku selama ini, mungkin juga tidak. Sesampainya aku di rumah sakit ia masih tidur. Aku tak tahu pasti apa penyakit yang ia derita, tapi keadaannya sekarang sungguh membuatku merasa amat sedih. Aku memperhatikan wajahnya dengan seksama, ada keriput keriput halus di keningnya.

Daddy, lihat itu bunga bunga kertas di balik jendela. Mereka indah indah…”

***

Pagi itu aku datang ke acara pemakamannya dengan hati yang berserak. Aku tak tahu apa warna kemeja yang kugunakan, entah hitam, entah biru tua, aku tak lagi bisa membedakan keduanya. Bagaimanapun ia pergi terlalu cepat. Ia bahkan tak pernah bercerita mengenai penyakit yang ia derita, tak ada yang pernah memberitahuku. Terlalu banyak kenangan yang tersisa, terlalu banyak rencana yang tertunda. Kemarin pagi aku masih bersamanya, ah, betapa fananya waktu yang selalu pergi dengan tergesa.

Aku menggenggam seikat bunga aster dengan tangan gemetar, bersiap melihat jenazahnya, memberi penghormatan terakhir. Ah, lihat, betapa jenazah yang tenang. Bulir bulir airmata mulai menetes membasahi ujung kemeja, sementara beberapa orang pelayat menatapku dengan sendu.

How come, Dear….”

Seseorang memelukku dari belakang, membisikiku agar aku menahan tangis. Bagaimana aku bisa menahan tangis untuk seseorang yang paling kucintai? Ia mati muda, meninggalkan segala cinta dan cita cita. Rasanya seperti baru kemarin aku datang di hari kelahirannya, melihatnya menangis masih dalam wujud bayi merah, membisikkan doa doa ke telinganya yang kecil –segala doa yang terbaik yang pernah ada untuknya, mengamatinya tumbuh meski hanya dari jauh, demi menjaga perasaan orangtuanya.

Airmataku kering oleh hembusan angin yang melintasi ruangan, memenuhi sela sela dinding dan kaca, menerobos celah celah, dan lepas menuju langit, setelah sempat menggoyang ranting ranting bunga bunga kertas di halaman rumahnya.


14 Februari 2011

No comments: