Dec 29, 2012

Kembang Setaman

(29 Desember 2012)

: Arjuna kepada Banowati



Sengaja tak kumasukkan bagian bahagia,
sebab malam ini aku hanya ingin
melihat tubuhmu seutuhnya.
Soal memiliki atau tak akan memiliki,
toh aku akan tetap cinta.

Dengan mata terpejam
aku dapat merasakan asmara,
tanpa harus menyentuhmu.

Apalah arti rambut terurai,
yang menyebarkan wangi kuntum melati,
bila rasa sendiri telah mati (untuknya) ?

Setelah ini kita berdua akan menjadi ahli;
ahli memisahkan rasa dalam tubuh dan sukma.
Setelah ini hanya siluetmu yang bisa menjadi fantasi.

Dan remang lilin di piala-piala.
Air pada kendi, mengalir pada tubuhmu, tubuhku.

Ucapkanlah segala yang tak sempat,
sebelum daun ketapang merah-jingga mulai gugur.
Ucapkanlah sebelum detik
mendahuluimu merisaukan jejak kaki di pasir
yang (bisa kapan saja) tersapu air.

Ini hanya perkara tubuhmu semata,
perkara raga
yang akan dihempas lelaki lain mulai besok malam,
dan jutaan malam berikutnya.



5 Desember 2012

Nov 17, 2012

Interlude


 
Ini hanya sebuah interlude,
tak perlu buang waktu menangisinya.

Meskipun nada-nadanya mungkin mengingatkanmu pada ricik sungai sore itu, yang alirnya tenang namun cukup menghanyutkan kelopak kamboja yang gugur dari pohon di tepian,

dan jeram pada hulu, yang
barangkali menenggelamkan cinta-cinta tak lekang
sementara di barat pendar matari semburat.

Akan ada nyanyian panjang malam nanti
tentang taman-taman asmara dan burung sendratama
lanjutan kisah tadi pagi.
Kasih tak sampai tak dihitung di bagian ini.

Ini memang hanya sebuah interlude yang segera berakhir dengan getir.
Sedih memang, tapi ini hanya sekadar permainan pelepas penat,
entah perlu atau tak perlu diingat.


17 November 2012

Nov 7, 2012

Wijayakusuma

:Arjuna dan Banowati


Apa lagi yang akan kutunggu di pekarangan,
matari hampir tenggelam, sinarnya malu-malu lenyap perlahan
Apa lagi yang akan kau tunggu di pekarangan,
tanah masih basah sisa hujan seharian
“tapi waktu tak pernah sia-sia…” bisikmu.
Mengapa yang tersembunyi selalu indah…

Dan kita menunggu hingga larut malam berlalu
wijayakusuma mekar, wanginya semerbak ke mana-mana.
Sebentar.
Tak ada yang tahu…
pun cinta kita,
pun cinta kita…


6 November 2012

Nov 6, 2012

Sebungkus Rokok di Saku Celana


Aku punya cerita tentang sebungkus rokok di saku celana seorang lelaki
          yang tak habis-habis meski diisapnya setiap hari
          Dan sebungkus rokok itu, sepertinya, dapat berganti rasa.

Bulan-bulan lalu aku amati rokoknya samsu
          lelaki terbatuk-batuk tapi menikmati tiada henti di bawah kepulan asap membubung tinggi
          harap-duka-bahagia
          hingga larut malam akhirnya,
          dan ia pulang dengan sebungkus rokok di saku celana.

Hari-hari lalu aku amati lagi rokoknya telah berganti
          kali ini rokok ringan, daun menthol rupanya
          meski masih dalam bungkus yang sama.
          “Supaya sedikit santai..” jawabnya jenaka.
          Dan tak perlu repot membuka kertas timah emas pembungkus tiap batang rokoknya.

Asap kembali membubung, kali ini di antara kepingan ingatan dan lelaki pun kedinginan

di radio, suara kecapi melengking menjerit
di luar, dedaun bambu bergesekan, menangis
di saku celana, sebungkus rokok masih penuh, utuh.

Barangkali rasanya akan kembali berubah keesokan pagi,
          betapa rasa hanya sementara…

“Jangan sampai terlarut,” pesannya.



November 2012

Jul 24, 2012

Seusai Pertunjukan Wayang



Seusai pertunjukan wayang, ia tak langsung pulang, melainkan menyusup ke belakang panggung, mencari sang dalang yang membuatnya pesona semalam suntuk: betapa sempurna ia memainkan wewayang!

ditemuinya sang dalang tengah bersandar di antara kotak-kotak perlengkapan; mengisap rokok aroma cengkih yang asapnya membubung ke langit tak berbatas.

“Aku cinta kau”, ucapnya membuyarkan lamunan sang dalang, “aku cinta kau hingga merobek urat dan nadi, menebas rentetan kata dalam bait-bait yang kau lisankan semalaman dan helaan napas tiada henti.”

Waktu berhenti. Sang dalang tegap menghadap wanita ayu yang baru saja menyampaikan isi hatinya yang barangkali saja yang terdalam, yang tiada seorang pun sanggup mencapainya.

“Aku cinta kau sebab kau membawaku pada kehidupan yang sejatinya, kau yang membuatku merasakan bahagia dan airmata, berlarian di padang rumput yang tandus dan bersembunyi di antara pohonan asoka.”

Sang dalang kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, membiarkan pahit-harum tembakau memenuhi rongga dada. “Wanita ini”, gumamnya, “sejak dulu selalu begini.”

Maka dengan segenap pesonanya sang dalang membuka kotak tempatnya bersandar dan membuat sedikit celah di dalam kotak yang belum terlalu padat isinya. 

Ia tak peduli airmata mulai membasahi pipi wanita di hadapannya, bahkan ketika ia menarik tangannya yang selembut sutera, membimbingnya kembali tidur dalam kotak kayu cemara.

“Banowati, cintamu selalu salah.”




Juli 2012

Mar 2, 2012

Rambut



"and there's a past, so horrible. we can't even enjoy our present." -CD


Sore tadi aku memotong rambutku. Pendek sekali. Barangkali ini rambut terpendek yang pernah aku punya sepuluh tahun belakangan.

Sepulang dari kampus tadi, setelah membereskan beberapa tulisan yang harus terlihat sempurna, aku sengaja mampir ke salon terdekat. Rambutku dicuci, lalu disisir hingga sangat halus. Aku memberi isyarat kepada kapster, seorang wanita muda dengan gigi berkawat, seberapa panjang rambutku akan dibuang.

Melalui kaca besar di depan dan di belakang, aku lihat rambut panjangku berjatuhan. Mati, memenuhi lantai keramik putih. Mungkin rambut-rambutku ini akan dibawa ke pabrik rambut palsu, nantinya, untuk dirangkai lagi menjadi sanggul yang menawan. Setidaknya itu yang pernah aku dengar tentang apa yang terjadi dengan berpuluh-puluh kilo rambut ‘buangan’ di salon setiap harinya, aku tak terlalu mengerti.

Maka limapuluh ribu rupiah dan aku dapat merasakan hembusan angin meniup tengkukku.

Namun rasanya seperti kehilangan kenangan.

Sepulangnya, aku berhenti di kedai kopi, bertemu teman-teman kuliah yang nampaknya juga lelah. Mereka bilang rambut pendekku indah.

Dalam pikiranku masih saja membayangkan ke mana perginya rambut-rambut yang telah bertahun kupanjangkan tadi.



Maret 2012

Jan 28, 2012

Suatu Pagi, Suatu Melodi


Ini kali kesepuluh ia memutar Liebestraum1 dari piringan hitamnya, pagi ini. “Bahkan ia belum mandi,” bisik perempuan di sebelahku, yang mendapat tugas menyiapkan segala kebutuhannya siang hingga malam. Aku menggulung lengan kemeja putihku hingga sikut, memasuki kamarnya yang menghadap halaman belakang.

“Aku suka Liebestraum. Kamu bisa jelaskan bagaimana Liszt menciptakan melodi seindah ini?” tanyanya tiba-tiba dengan tatapan tajam. Mata cokelat yang indah, juga rambut panjangnya yang seingatku senantiasa indah meski tanpa disisir.

Melodi yang indah. Siapa pun yang sedang jatuh cinta pasti suka mendengar melodi ini, berpuluh bahkan beratus kali, seperti yang ia lakukan. Barangkali ketika menciptanya, Liszt sedang jatuh cinta yang teramat hebat; barangkali. Tapi cinta saat ini, pasti terlalu sulit dimengerti olehnya. “Aku tidak tahu, Maya.”

“Aku selalu ingin bisa bermain piano. Kesalahan Ayah, ketika aku masih kecil tidak membelikanku piano. Katanya, harganya terlalu mahal. Mungkin suatu saat aku akan belajar bermain piano. Aku ingin belajar memainkan Liebestraum. Kamu mau mendengarkannya, jika suatu saat nanti aku bisa bermain piano?”

Angin dari halaman belakang berdesir melintasi deretan kata yang ia ucapkan, berputar di langit-langit kamar dan keluar lagi melalui jendela yang sama. Kini ia sibuk menata buku-buku yang berserakan di samping piringan hitam, menyusunnya dari yang paling besar hingga kecil.

“Tentu saja aku mau, Maya. Aku juga suka Liebestraum.”

“Aku juga ingin memainkan Chopin2, juga Clair de Lune3. Mau mendengarnya juga?”

“Aku mau mendengarkan apapun yang kamu mainkan, Maya.
Kamu belum mandi?”

Ia menggeleng. “Tolong nanti katakan pada perempuan itu, aku bisa mandi dan makan sendiri. Aku juga tak perlu bantuannya untuk merapikan kamarku.”

Aku membuka tas jinjing kulitku, mengeluarkan buku catatan dan pensil. Ia berpaling dari buku-bukunya sebentar, melihatku mencari-cari halaman tempat catatan terakhirku ditulis.

“Aku baik-baik saja, Indrasmara.”

“Aku tahu. Ini hanya untuk catatan saja,” jawabku tanpa berani melihat mata cokelatnya lagi. Aku selalu tak punya keberanian menatap matanya setiap ia mengucapkan kalimat ‘baik-baik saja’. Aku selalu tak punya keberanian untuk menangkap kebohongannya, “jika aku tak menulis ini, ayahmu akan marah.”

Ia tertawa. Tapi aku tak mengerti arti tawanya, apakah tertawa seperti anak kecil yang melihat balon-balon beterbangan ke angkasa, ataukah tertawa seperti orang kaya melihat orang miskin –setidaknya itulah yang terjadi belakangan ini, ‘kan?

Liebestraum terus mengalun, barangkali ini sudah yang keduapuluh kalinya. Rasanya seperti seabad.

“Kalau begitu tulis saja begini: keadaan Maya baik-baik saja, dan selalu baik-baik saja.” Ia bersijingkat menuju kursi kayu di hadapanku, melangkahkan kakinya pelan-pelan supaya tak mengotori kertas-kertas yang berserakan memenuhi kamar.

Tentu saja kamu tidak baik-baik saja, Maya. Orang yang baik-baik saja tak akan mendengarkan Liebestraum ratusan kali setiap harinya. Kami duduk berhadapan. Aku mulai menulis di buku catatanku. Ia juga mulai membuka buku yang sedari tadi digenggamnya, bersiap larut ke dalamnya. Ini lebih baik, sebab ia jadi tak melihat apa yang aku tulis dan protes seperti biasanya.

“Kamu tahu, aku benci halaman setelah halaman terakhir setiap buku cerita.” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku di atas pahanya.

“Kebencianmu tak berarti apa-apa, Maya.”

Ia menutup buku. “Kamu bisa menjelaskan, apa yang terjadi setelah suatu cerita berakhir? Kamu tak akan pernah bisa, Indrasmara. Bahkan penulisnya sendiri pun tak pernah bisa. Bahkan Shakespeare pun tak bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan Malcolm4 setelah ia menggantikan Macbeth.”

Kepalaku mulai sakit mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya, ditambah lagi Liebestraum yang seakan akan terus diputarnya hingga hari kiamat. Barangkali jika dapat berbicara, piringan hitam itu juga akan berteriak: cukup! Aku muak! “Maya, kadang ada sesuatu yang kita tak perlu mengerti.”

“Sesuatu itu yang bisa berarti apa saja. Apa saja; mungkin saja setelah pernikahannya, Odette5 berhenti mencintai Derek, atau sebaliknya, kemudian mereka berpisah dan Odette menemukan cinta sejatinya. Mungkin saja, ‘kan?”

Aku mengangkat kepalaku, menatap mata cokelatnya yang indah, yang tak ada satu orang pun yang menyangka ada luka jauh di dalam sana. Bagaimanapun yang ia katakan hanyalah bentuk penyangkalan dari apa yang ia rasakan.

“Lalu apa arti cerita-cerita yang dibangun sedemikian rupa, yang sengaja dibuat untuk meremukkan dan meredamkan hati kita dan kemudian disinari harapan lagi hingga akhirnya kita merasa bahagia? Barangkali dunia tak pernah seindah yang bisa kita bayangkan, Indrasmara. Karena itulah aku benci halaman setelah halaman terakhir dari buku cerita, karena bisa berarti apa saja.”

“Baiklah, mungkin kebencianmu ada artinya, Maya.” aku menarik napas panjang.

“Boleh aku menyobek setiap halaman setelah halaman terakhir di semua buku yang aku punya?”

Rambutnya yang panjang kini tertiup angin. Anak-anak rambut menutupi sebagian pipinya yang belum juga dicuci sejak bangun tidur subuh tadi. Bagaimana mungkin seseorang tega menyakitimu, Maya.

“Tentu saja boleh, Maya. Itu buku-buku milikmu.”

Tanpa sepatah kata pun ia membuka buku yang tadi ia baca dan menyobek halaman setelah halaman terakhir. Sedetik kemudian ia sudah berada di hadapan lemari buku di sudut kamar, mengeluarkan buku-buku yang hampir berdebu dan menyobeki halaman-halaman yang ia benci satu demi satu. Lantai kamar semakin penuh dengan sobekan kertas putih di sana-sini. “Ini akan memakan waktu yang lama,” ucapnya.

Liebestraum masih mengalun. Melodi-melodinya menjerit seakan ingin semua orang tahu kedalaman cinta melalui titi nada. Aku terus mengamatinya dari kursiku. Wajahnya cukup tenang untuk seorang wanita yang sedang bergolak hatinya.

“Maya, apakah kamu masih merasa mual6 setiap kamu mengingatnya?”

Seketika ia menghentikan kegiatannya dan menatap mataku dengan tatapan yang sedalam cintanya, “Selalu.”

Aku menulisi buku catatanku dengan beberapa kalimat terakhir. Barangkali sudah cukup untuk hari ini. Hari ini. Tapi aku belum tahu apakah besok aku akan datang lagi ke tempat ini.

“Jaga dirimu baik-baik, Maya.” pamitku sambil berjalan menuju pintu kamar, setelah sebelumnya menyempatkan diri menatap mata cokelatnya lagi. Ia hanya menengok sebentar dan tersenyum, lalu kembali sibuk dengan buku-buku yang disobekinya.

Mungkin ia benar, barangkali dunia tak pernah seindah yang bisa kita bayangkan.

Mungkin cinta Odette dan Derek bukanlah cinta yang sejati, melainkan hanya sebagian cerita kehidupan yang tak berarti apa-apa. Mungkin aku memang tak pernah bisa mengerti perasaannya. Aku memang tak pernah bisa mengerti rasanya ditinggalkan kekasih tepat ketika sedang berdiri di atas altar. Aku memang tak pernah bisa mengerti rasanya ketika tahu bahwa orang yang aku cintai ternyata lebih memilih untuk pergi bersama orang lain. Tepat ketika aku sedang berdiri di atas altar.

Maka kalimat terakhir yang aku tulis di buku catatanku adalah “Barangkali Maya akan lebih baik seperti ini.”

Kubayangkan kini ia masih menyobeki halaman-halaman terakhir buku-bukunya sambil mendengarkan Liebestraum untuk kesekian juta kalinya.


29 Januari 2012



catatan:
1 Salah satu musik klasik gubahan Franz Liszt.
2 yang dimaksud dengan Chopin di sini adalah Chopin’s Prelude in E minor opus 28 no. 4, musik klasik gubahan Frederic Chopin.
3 salah satu musik klasik gubahan Claude Debussy.
4 tokoh yang menggantikan posisi Macbeth sebagai jenderal dalam cerita Macbeth karya William Shakespeare.
5 tokoh utama dalam cerita The Swan Princess. Derek adalah nama kekasihnya.
6 salah satu gejala depresi akut adalah merasa mual/tidak enak badan setiap kali mengingat hal yang menjadi ketakutan penderita.

Jan 25, 2012

Love Dream


“You know, I’ve killed the time.”

“No, Honey. Time killed you...”

“We’re eternal, now.”

“No, Honey. You’re dead. No such thing like...”

“Honey, I’m scared.”

“I know.”

“Can you tell me what happens with Cinderella after she lives with the Prince and spends the rest of her life in castle?”

“I don’t know. But she’s happy.”

“Are you sure?”

“Probably, Honey.”

“But something happened. Times went by.”

“Honey, we should not cry for tomorrow. We should not against the time.”

“I just don’t want time ruins it.
...
Romeo and Juliet are happy.”

“But they’re dead, Honey.”

“They killed the time.”

“No, Honey. Time killed both of them.”

“Suicide is the best way, maybe.”

“So, you think that they’re happy, up there?”

“Things will happens, Honey. Things will happens. I just can’t face it.”

“You’re happy, Honey. There’s nothing else to worry.”

“I should be a very-happy bride.”

“You are, Honey. But you’re dead...”

“Because I don’t want time ruins it. Everything’s so perfect, you know, I just don’t want time changes it.
...
No one on earth could love you like this, Honey. Deeply.”


And they keep dancing over the night sky.


25 January 2012
Liebestraum

Jan 7, 2012

Wanita yang Ingin Membunuh Waktu



"I could die right now, Clem. I'm just...happy. I've never felt that before. I'm just exactly where I want to be.." -Joel Barish



Aku punya sebuah cerita tentang seorang wanita yang ingin membunuh waktu:

Hari itu tepat dua hari sebelum pernikahannya, ia pandangi dirinya di depan kaca; mereka-reka, menyusuri garis-garis halus di wajahnya, menembus ingatan-ingatannya di masa lalu lewat sepasang matanya.

Ia bahagia, setelah bertahun-tahun mencintai lelaki yang sama, cinta pertama.

Di kamarnya, tergantung gaun putih berenda; gaun impian yang telah disimpannya sekian lama, juga lagu-lagu cinta yang ia kumpulkan kata demi kata.

Ia bahagia, nyaris sempurna. Mungkin ia bahagia, hingga ia memutuskan inilah akhir dari cerita hidupnya, bahagia seperti yang ia baca di buku-buku cerita.

Hari itu tepat dua hari sebelum pernikahannya, ia pandangi wajahnya yang berlumur airmata di depan kaca, menyadari dirinya telah berada di titik tertinggi dalam hidupnya.

“Barangkali waktu yang akan mengacaukan segala”, desisnya, dan tanpa pernah ia sadari, ketakutannya akan waktu sudah terlalu dalam mencengkeram, hingga merobek syaraf serta urat nadinya.

Ia menyeka airmata, mengendap-endap ke kamar ayahnya, mengambil revolver yang nyaris tak pernah tersentuh, dan kembali ke kamarnya. “Barangkali waktu yang akan mengacaukan segala.”

Hari itu tepat dua hari sebelum pernikahannya, ibunya menjerit pilu menemukan anak gadisnya terbaring kaku dengan lubang di kepala dan secarik kertas dalam genggaman: “Tak ada yang bisa mencintaimu sedalam ini, kekasih.”

Ia tak berhasil membunuh waktu. Sebaliknya, waktu yang diam-diam membunuhnya.



7 Januari 2012, lima tahun.