Jan 28, 2012

Suatu Pagi, Suatu Melodi


Ini kali kesepuluh ia memutar Liebestraum1 dari piringan hitamnya, pagi ini. “Bahkan ia belum mandi,” bisik perempuan di sebelahku, yang mendapat tugas menyiapkan segala kebutuhannya siang hingga malam. Aku menggulung lengan kemeja putihku hingga sikut, memasuki kamarnya yang menghadap halaman belakang.

“Aku suka Liebestraum. Kamu bisa jelaskan bagaimana Liszt menciptakan melodi seindah ini?” tanyanya tiba-tiba dengan tatapan tajam. Mata cokelat yang indah, juga rambut panjangnya yang seingatku senantiasa indah meski tanpa disisir.

Melodi yang indah. Siapa pun yang sedang jatuh cinta pasti suka mendengar melodi ini, berpuluh bahkan beratus kali, seperti yang ia lakukan. Barangkali ketika menciptanya, Liszt sedang jatuh cinta yang teramat hebat; barangkali. Tapi cinta saat ini, pasti terlalu sulit dimengerti olehnya. “Aku tidak tahu, Maya.”

“Aku selalu ingin bisa bermain piano. Kesalahan Ayah, ketika aku masih kecil tidak membelikanku piano. Katanya, harganya terlalu mahal. Mungkin suatu saat aku akan belajar bermain piano. Aku ingin belajar memainkan Liebestraum. Kamu mau mendengarkannya, jika suatu saat nanti aku bisa bermain piano?”

Angin dari halaman belakang berdesir melintasi deretan kata yang ia ucapkan, berputar di langit-langit kamar dan keluar lagi melalui jendela yang sama. Kini ia sibuk menata buku-buku yang berserakan di samping piringan hitam, menyusunnya dari yang paling besar hingga kecil.

“Tentu saja aku mau, Maya. Aku juga suka Liebestraum.”

“Aku juga ingin memainkan Chopin2, juga Clair de Lune3. Mau mendengarnya juga?”

“Aku mau mendengarkan apapun yang kamu mainkan, Maya.
Kamu belum mandi?”

Ia menggeleng. “Tolong nanti katakan pada perempuan itu, aku bisa mandi dan makan sendiri. Aku juga tak perlu bantuannya untuk merapikan kamarku.”

Aku membuka tas jinjing kulitku, mengeluarkan buku catatan dan pensil. Ia berpaling dari buku-bukunya sebentar, melihatku mencari-cari halaman tempat catatan terakhirku ditulis.

“Aku baik-baik saja, Indrasmara.”

“Aku tahu. Ini hanya untuk catatan saja,” jawabku tanpa berani melihat mata cokelatnya lagi. Aku selalu tak punya keberanian menatap matanya setiap ia mengucapkan kalimat ‘baik-baik saja’. Aku selalu tak punya keberanian untuk menangkap kebohongannya, “jika aku tak menulis ini, ayahmu akan marah.”

Ia tertawa. Tapi aku tak mengerti arti tawanya, apakah tertawa seperti anak kecil yang melihat balon-balon beterbangan ke angkasa, ataukah tertawa seperti orang kaya melihat orang miskin –setidaknya itulah yang terjadi belakangan ini, ‘kan?

Liebestraum terus mengalun, barangkali ini sudah yang keduapuluh kalinya. Rasanya seperti seabad.

“Kalau begitu tulis saja begini: keadaan Maya baik-baik saja, dan selalu baik-baik saja.” Ia bersijingkat menuju kursi kayu di hadapanku, melangkahkan kakinya pelan-pelan supaya tak mengotori kertas-kertas yang berserakan memenuhi kamar.

Tentu saja kamu tidak baik-baik saja, Maya. Orang yang baik-baik saja tak akan mendengarkan Liebestraum ratusan kali setiap harinya. Kami duduk berhadapan. Aku mulai menulis di buku catatanku. Ia juga mulai membuka buku yang sedari tadi digenggamnya, bersiap larut ke dalamnya. Ini lebih baik, sebab ia jadi tak melihat apa yang aku tulis dan protes seperti biasanya.

“Kamu tahu, aku benci halaman setelah halaman terakhir setiap buku cerita.” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku di atas pahanya.

“Kebencianmu tak berarti apa-apa, Maya.”

Ia menutup buku. “Kamu bisa menjelaskan, apa yang terjadi setelah suatu cerita berakhir? Kamu tak akan pernah bisa, Indrasmara. Bahkan penulisnya sendiri pun tak pernah bisa. Bahkan Shakespeare pun tak bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan Malcolm4 setelah ia menggantikan Macbeth.”

Kepalaku mulai sakit mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya, ditambah lagi Liebestraum yang seakan akan terus diputarnya hingga hari kiamat. Barangkali jika dapat berbicara, piringan hitam itu juga akan berteriak: cukup! Aku muak! “Maya, kadang ada sesuatu yang kita tak perlu mengerti.”

“Sesuatu itu yang bisa berarti apa saja. Apa saja; mungkin saja setelah pernikahannya, Odette5 berhenti mencintai Derek, atau sebaliknya, kemudian mereka berpisah dan Odette menemukan cinta sejatinya. Mungkin saja, ‘kan?”

Aku mengangkat kepalaku, menatap mata cokelatnya yang indah, yang tak ada satu orang pun yang menyangka ada luka jauh di dalam sana. Bagaimanapun yang ia katakan hanyalah bentuk penyangkalan dari apa yang ia rasakan.

“Lalu apa arti cerita-cerita yang dibangun sedemikian rupa, yang sengaja dibuat untuk meremukkan dan meredamkan hati kita dan kemudian disinari harapan lagi hingga akhirnya kita merasa bahagia? Barangkali dunia tak pernah seindah yang bisa kita bayangkan, Indrasmara. Karena itulah aku benci halaman setelah halaman terakhir dari buku cerita, karena bisa berarti apa saja.”

“Baiklah, mungkin kebencianmu ada artinya, Maya.” aku menarik napas panjang.

“Boleh aku menyobek setiap halaman setelah halaman terakhir di semua buku yang aku punya?”

Rambutnya yang panjang kini tertiup angin. Anak-anak rambut menutupi sebagian pipinya yang belum juga dicuci sejak bangun tidur subuh tadi. Bagaimana mungkin seseorang tega menyakitimu, Maya.

“Tentu saja boleh, Maya. Itu buku-buku milikmu.”

Tanpa sepatah kata pun ia membuka buku yang tadi ia baca dan menyobek halaman setelah halaman terakhir. Sedetik kemudian ia sudah berada di hadapan lemari buku di sudut kamar, mengeluarkan buku-buku yang hampir berdebu dan menyobeki halaman-halaman yang ia benci satu demi satu. Lantai kamar semakin penuh dengan sobekan kertas putih di sana-sini. “Ini akan memakan waktu yang lama,” ucapnya.

Liebestraum masih mengalun. Melodi-melodinya menjerit seakan ingin semua orang tahu kedalaman cinta melalui titi nada. Aku terus mengamatinya dari kursiku. Wajahnya cukup tenang untuk seorang wanita yang sedang bergolak hatinya.

“Maya, apakah kamu masih merasa mual6 setiap kamu mengingatnya?”

Seketika ia menghentikan kegiatannya dan menatap mataku dengan tatapan yang sedalam cintanya, “Selalu.”

Aku menulisi buku catatanku dengan beberapa kalimat terakhir. Barangkali sudah cukup untuk hari ini. Hari ini. Tapi aku belum tahu apakah besok aku akan datang lagi ke tempat ini.

“Jaga dirimu baik-baik, Maya.” pamitku sambil berjalan menuju pintu kamar, setelah sebelumnya menyempatkan diri menatap mata cokelatnya lagi. Ia hanya menengok sebentar dan tersenyum, lalu kembali sibuk dengan buku-buku yang disobekinya.

Mungkin ia benar, barangkali dunia tak pernah seindah yang bisa kita bayangkan.

Mungkin cinta Odette dan Derek bukanlah cinta yang sejati, melainkan hanya sebagian cerita kehidupan yang tak berarti apa-apa. Mungkin aku memang tak pernah bisa mengerti perasaannya. Aku memang tak pernah bisa mengerti rasanya ditinggalkan kekasih tepat ketika sedang berdiri di atas altar. Aku memang tak pernah bisa mengerti rasanya ketika tahu bahwa orang yang aku cintai ternyata lebih memilih untuk pergi bersama orang lain. Tepat ketika aku sedang berdiri di atas altar.

Maka kalimat terakhir yang aku tulis di buku catatanku adalah “Barangkali Maya akan lebih baik seperti ini.”

Kubayangkan kini ia masih menyobeki halaman-halaman terakhir buku-bukunya sambil mendengarkan Liebestraum untuk kesekian juta kalinya.


29 Januari 2012



catatan:
1 Salah satu musik klasik gubahan Franz Liszt.
2 yang dimaksud dengan Chopin di sini adalah Chopin’s Prelude in E minor opus 28 no. 4, musik klasik gubahan Frederic Chopin.
3 salah satu musik klasik gubahan Claude Debussy.
4 tokoh yang menggantikan posisi Macbeth sebagai jenderal dalam cerita Macbeth karya William Shakespeare.
5 tokoh utama dalam cerita The Swan Princess. Derek adalah nama kekasihnya.
6 salah satu gejala depresi akut adalah merasa mual/tidak enak badan setiap kali mengingat hal yang menjadi ketakutan penderita.

No comments: