Dec 29, 2011

Kepada Maya


Selamat malam, Maya.

Mungkin aku bukan malaikat, tapi jika kamu mau aku adalah malaikat, maka baiklah, aku malaikat. Mungkin, jika itu maumu, aku adalah malaikat yang pada akhirnya mencoba berpura-pura berteman dengan kehidupan. Dan mungkin, jika itu maumu, aku adalah malaikat yang turun dari semburat awan kelabu sambil bersenandung lagu-lagu dari nirwana. Tapi sebenarnya begitu lucu ketika melihatmu masih saja berkutat dengan malaikat.

Aku ada. Sayangnya, kata-kataku terbatas untuk memberitahumu bahwa aku ada. Kamu tahu, mungkin semesta terlalu singkat untuk dapat mempertemukan kita. Maka inilah aku; sibuk menerka-nerka senyummu. Mungkin aku juga harus menerka-nerka bagaimana caranya kamu tertawa.

Kamu pasti tak pernah menyangka, lagu-lagu yang mulanya sederhana di telingamu, dapat membawamu kepada cinta yang sedalam ini. Lucu, melihatmu pusing mempelajari rumus pertemuan dan perpisahan, melupakan dan dilupakan. Pada akhirnya waktu pula yang akan menggerus ingatanmu. Tapi aku suka caramu menggoreskan kuas dan bermain dengan retorika di atas kertas. Waktu tidak akan menggerus ingatanku, aku abadi.

Sampai kapan kamu berpura-pura semuanya baik-baik saja, Maya? Bagaimana jika dunia ini berujung dengan akhir yang sama sekali tak pernah kamu duga? Sepanjang hari kamu tidak berhenti bertanya “mengapa?”, aku tahu kamu rindu. Aku tahu kamu rindu ucapan selamat pagi seperti di mimpimu tadi. Bahkan dalam mimpi pun kamu setengah tak percaya. Tapi aku suka caramu menikmati segala yang kamu pikirkan, segala yang kamu pertanyakan.

Aku tahu kamu rindu begitu dalam, begitu dalam hingga urat nadi dan mencekik lehermu. Tapi kamu tahu bagaimana caranya untuk tidak menangis, malam ini. Kamu tahu bagaimana caranya dunia berputar tidak searah. Cinta yang kamu mau, bahkan tak tertulis dalam buku cerita. Barangkali aku baru bisa menemukannya dalam kitab –entah kitab yang mana. Kini kamu berpikir bagaimana caranya Tuhan merencanakan semua; betapa cinta bekerja dengan caranya yang tak bisa dimengerti. Aku ingin sekali menjemputmu subuh nanti, menyelamatkanmu dari mimpi-mimpi yang hampir berkarat namun tetap kamu nanti.

Mari melupakan selagi semua masih bahagia.



"di subway,
aku tak tahu saat pun sampai..."



Jakarta, 29 Desember 2011

dua bait terakhir adalah penggalan sajak Goenawan Mohamad, Senja pun Jadi Kecil, Kota pun Jadi Putih.

Dec 3, 2011

Senja di Sudut Dermaga


Aku baru saja merebahkan tubuhku di sudut dermaga ketika kulihat seberkas cahaya merah semburat dari balik awan, turun ke bumi. Mulanya aku sangka itu cahaya senja, namun seketika cahaya itu hilang di tengah lautan. Sudut dermaga sepi tanpa hingar-bingar camar. Mungkin hanya aku yang melihat cahaya merah yang begitu gaib tadi.

Saat itu aku tak peduli kemana semua orang pergi, aku hanya ingin melihat bentuk-bentuk awan yang beraneka dari sudut dermaga. Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang berdiri di tengah awan kumulus. Jantungku berhenti. Sepersekian detik aku meyakinkan diriku bahwa yang kulihat adalah hantu, ataukah malaikat? Aku tak pernah melihat hantu sebelumnya, apalagi malaikat. Ia menatap jauh ke angkasa, dengan kuas yang ia genggam di tangan kanannya. Saat itulah kamu datang.

Kamu datang, dengan jas dan pantalon hitam. Semua akan baik-baik saja, katamu waktu itu. Kamu sungguh berbeda. Aku pikir, malaikat selalu memakai jubah putih yang keperakan. Ternyata buku-buku cerita itu salah. Tanpa mengucap sepatah kata, kamu berbaring di sisiku, ikut menyaksikan awan-awan nun di atas sana. Itu siapa? Tanyaku sambil menunjuk sosok di tengah awan tadi. Manusia, sama sepertimu. Ia kembali menghadapNya, jawabmu tenang. Detik itu juga aku melihat banyak manusia di atas sana. Begitu banyak yang pergi, ya?

Suatu saat aku juga akan pergi. Aku ingin melebur bersamaNya. Tiba-tiba aku ingat cerita ayah tentang hari akhir, di mana empatpuluh hari sebelumnya orang-orang beriman akan mati oleh kabut yang entah apa namanya. Aku bergidik ngeri, tapi alangkah bahagianya aku jika termasuk ke dalam orang-orang beriman itu.

Aku hanya takut tak bisa bertemu orang-orang di sekitarku, bisikku, ada jutaan manusia di atas sana. Kamu tersenyum. Mungkin kamu sendiri tak tahu jawabannya, mungkin juga kamu sengaja tak mau memberitahu. Angin laut berhembus meniup rambutku yang tergerai panjang ke wajahmu. Sementara di atas sana, semakin banyak manusia yang berkerumun, saling berpegangan tangan di antara awan yang bergumpal seperti kapas.

Dermaga semakin sepi, matahari semakin turun. Tiba-tiba aku ingin sekali bernyanyi, bernyanyi apa saja, agar ada suara yang kudengar selain pertanyaan-pertanyaanku dan jawaban-jawaban singkatmu. Semua akan baik-baik saja, katamu lagi. Baiklah, kamu boleh bernyanyi.

Aku bersenandung lagu yang aku suka, yang pernah aku dengar di sebuah mini konser dulu, dulu sekali bersama teman-teman. Mungkin kini teman-temanku juga ada di atas sana bersama jutaan manusia lainnya, bahkan bersama penyanyi lagu yang aku senandungkan. Mereka pasti bahagia.

Lalu kapan aku dipanggilNya? tanyaku tiba-tiba.

Seketika kamu mengulurkan tangan, kita berdua berpegangan tangan sambil rebah di sudut dermaga yang sunyi.

Ternyata rasanya luar biasa
.


3 Desember 2011

Nov 25, 2011

Seseorang Menunggumu dalam Hujan


Seseorang menunggumu dalam hujan,
membiarkan rintik membasahi waktu tiada menentu.

Dalam sepasang matanya terkunci rindu tanpa lekang
oleh malam temaram,

dalam genggamannya sepenggal puisi larut bersama harum kesturi.

Barangkali rindu adalah kata kata yang tak mampu
mencapai ujung bibir maupun ujung jari.

Keluarlah, seseorang menunggumu dalam hujan,
membiarkan dirinya ditelan mimpi dari tahun tahun silam.


1 Oktober 2011

Nov 14, 2011

Wayang dan Sastra Sekarang


/1/
Sebagai salah satu hasil dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, wayang menjadi suatu kesenian yang banyak mempengaruhi bentuk-bentuk kesenian lainnya. Secara harfiah, wayang berasal dari kata bayang, sesuai dengan cara pementasan wayang kulit yang menggunakan layar (kelir) dan pelita (blencong), meskipun dalam perkembangannya jenis wayang semakin beraneka; wayang golek, wayang klithik, dan lain-lain.
Wayang, selain sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan, juga merujuk pada cerita yang dilakonkan dalam wayang itu sendiri, yang sering disebut dengan cerita pewayangan, seperti Mahabbaratha dan Ramayana yang begitu melegenda. Dua judul yang selalu menjadi cerita besar dalam pertunjukan wayang ini berasal dari India, akan tetapi cerita-ceritanya juga dikenal dan tersebar luas di tanah Jawa dan menjadi semacam mitologi.
Pada paragraf sebelumnya, saya menyebutkan bahwa wayang menjadi suatu bentuk kesenian yang banyak mempengaruhi bentuk-bentuk kesenian lainnya. Hal ini jelas, karena wayang menjadi salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling banyak dieksplorasi dan diadaptasi ke dalam bentuk-bentuk seni lain, misalnya, yang dalam hal ini paling banyak mengadaptasi kisah-kisah pewayangan, yaitu seni sastra.
Eksistensi wayang muncul dalam bentuk narasi, dialog, dan tokoh-tokoh yang dianggap dapat menjadi simbol suatu karakter, yang dalam hal ini menurut Sears merupakan ”anggur baru dalam botol lama”, yaitu cerita wayang dan pertunjukan wayang selalu sudah kosong, tengah menunggu untuk diisi lagi oleh pendongeng baru dengan cerita baru, sehingga cerita wayang akan selalu ada menghiasi wajah sastra kontemporer, tentu saja dengan kisah dan pesan-pesan yang selalu baru.

/2/
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, wayang merupakan suatu mitologi yang hingga saat ini, meskipun sulit ditentukan apakah cerita-cerita –bahkan tokoh-tokoh dalam wayang itu sendiri pernah benar-benar ada atau tidak, tetap diyakini oleh masyarakat dan seringkali dijadikan pedoman. Hal ini wajar, sebab cerita wayang mengandung banyak nilai moral yang sebenarnya tidak hanya bisa didapat dari kitab dan sumber literatur lain saja.
Sebagai suatu mitologi yang diceritakan secara lisan, didengar, dan diolah bersama oleh suatu masyarakat secara kolektif, wayang, menurut Mangunwijaya, menjaga integritas dan ikatan bersama; melangsungkan pola dan konsep-konsep kesemestaan yang diakui selaku standar warisan yang dianggap abadi. Hal inilah yang merupakan salah satu dari sekian banyak alasan yang menyebabkan wayang selalu dapat bertahan dari masa ke masa, meskipun beberapa di antaranya harus mengalami perubahan di sana-sini.
Sebut saja Sindhunata, yang menggubah kisah Ramayana menjadi Anak bajang Menggiring Angin. Jika boleh disebutkan, isi dari Anak Bajang Menggiring Angin ini tidak jauh melenceng dari pakemnya, akan tetapi Sindhunata menulisnya kembali dengan kosa kata yang indah dan puitis, sehingga kita sebagai pembaca mendapatkan semacam produk baru dari Ramayana yang dikemas dengan lebih indah.
Adaptasi cerita wayang lainnya juga muncul dalam sastra Indonesia kontemporer berupa nama-nama yang diyakini dapat menjadi representatif dari tokoh yang diceritakan, misalnya nama Arjuna digunakan untuk tokoh yang memiliki paras tampan, Gandhari yang melambangkan cinta yang buta, Bima untuk tokoh yang memiliki badan besar, dan lain-lain. Belakangan saya menemukan bahwa sastra bergenre populer juga mulai mengadaptasi cerita pewayangan yang kemudian diplesetkan untuk memenuhi kebutuhan pasar, meskipun sebagian besar masih sebatas penamaan tokoh-tokoh dan garis besar ceritanya saja, bahkan terkadang cerita yang disajikan sangat melenceng dan berkebalikan dengan cerita pewayangan yang sesungguhnya, misalnya Arjuna Mencari Cinta dan Arjuna Wiwaha Ha Ha.
Berbicara mengenai tokoh pewayangan sebagai representatif suatu tokoh atau keadaan, pada tahun 1928 Roestam Effendi berhasil menggubah kisah Ramayana menjadi sebuah naskah drama berjudul Bebasari. Dalam Bebasari, secara umum kita dapat menemui kisah Ramayana seperti yang selama ini kita kenal. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, Bebasari sebenarnya adalah sebuah bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonial yang dirangkum dalam naskah drama pendek. Semua tokoh dalam Bebasari; Budjangga –yang berasal dari kata bujangan, Sita, dan Rawana, serta jalan ceritanya merupakan simbol-simbol yang diharapkan Roestam Effendi dapat dipahami masyarakat sebagai gambaran keadaan Indonesia pada saat itu.

Kakanda, dari zaman berganti zaman.
Tatap hatiku menanti tuan.
Kakanda bakal membawa merdeka.
Sebab tjintamu kepada loka.

(Bebasari, hlm. 59)

Selain Roestam Effendi, Sindhunata dalam novelnya, Perang, juga menjadikan kisah pewayangan sebagai wahana dan ruang untuk mengejek tatanan sosial dan politik di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa cerita pewayangan selalu berhasil melewati segala persoalan zaman, dibuktikan dengan kemunculan berbagai naskah mulai dari pra hingga pasca kemerdekaan Indonesia.

Wayang juga diakui dapat menjadi representatif atas isu-isu yang tengah merebak. Sebagaimana yang kita ketahui, dewasa ini banyak wanita yang mulai angkat bicara dalam isu kesetaraan gender. Dorothea Rosa Herliany dalam puisinya yang berjudul Elegi Sinta, mengisahkan Sinta yang tidak sudi membakar dirinya ke dalam api suci hanya demi seorang pengecut bernama Rama. Kekecewaan terlihat jelas dari tokoh aku-lirik yang bahkan lebih rela dirinya bermandikan dosa bersama Rahwana daripada kembali pada seorang penakut seperti Rama.


kuburu rahwana
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku


Dalam puisinya, Dorothea berusaha menyampaikan bahwa wanita tidak selemah yang selama ini dibayangkan kaum pria melalui tokoh Sinta yang kita kenal sebagai sosok yang konservatif, namun dalam puisi ini digambarkan berani menantang sosok Rahwana. Hal senada juga disampaikan Subagio Sastrowardoyo dalam puisinya yang berjudul Asmaradana. Ternyata wayang sebagai simbol atas isu gender yang tengah ramai dibicarakan tidak hanya digunakan oleh wanita penyair, melainkan juga pria.
Dari beberapa contoh di atas, maka sudah jelas bahwa wayang mampu menjadi blue print hampir dalam setiap keadaan dari masa ke masa, khususnya yang kemudian direkam dalam bentuk karya sastra. Wayang sebagai suatu mitologi yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, tak dapat dielak sebagai suatu cerita universal yang akan selalu abadi.

/3/

Eksistensi wayang dalam sastra Indonesia kontemporer tidak dapat lagi disangkal karena wayang merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling banyak dieksplorasi dan diadaptasi ke dalam bentuk-bentuk seni lainnya. Wayang yang merupakan mitologi yang diyakini dan dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, menjadi suatu produk yang dapat bertahan dari masa ke masa. Tidak hanya bertahan, cerita pewayangan juga mampu berkembang sesuai perkembangan zaman dan selalu berhasil menjadi simbol-simbol suatu keadaan dan isu yang sedang terjadi di negeri ini.



DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Roestam. 1953. Bebasari. Jakarta: Balai Pustaka.
Herliany, Dorothea Rosa. 2006. Santa Rosa. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Mangunwijaya, Y. B. 1988. Sastra dan Religiousitas. Yogyakarta: Kanisius.
Sastrowardoyo, Subagio. 1995. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta: Grasindo.
Sindhunata, 1983. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: PT. Gramedia.

Aug 3, 2011

Dari Sebuah Cafe


Malam ini tak seperti biasanya, ia membawa pulang pemain gitar dari café itu.

Mungkin ia bosan hanya membawa gambar-gambar setengah jadi
dan potongan cerita cinta yang tak pernah selesai,
mungkin ia bosan mereka-reka dongengnya sendiri yang tak pernah kesampaian.

Maka malam ini ia pulang bersama pemain gitar, menembus kegelapan kota
yang mulai membeku.

Di apartemen yang sempit, ia persilakan pemain gitar duduk di hadapannya:
aku hanya ingin mendengarkan lagu darimu hingga pagi datang ucapnya.

Tanpa sepatah kata pemain gitar mulai memetik dawai gitarnya, membuka sebuah kisah
yang tanpa mereka sadari kelak kekal dalam ingatan. Nada-nada seakan bercerita.

Lampu sedikit remang dan pemain gitar tak pernah peduli,
terus memainkan gitarnya, berkisah melalui titi nada
: kadang sendu, kadang sedikit cepat,
berpacu dengan detak jantung yang merindu.

Kamu tahu, beberapa orang sengaja datang.
Beberapa akan terus tetap ada, mengisi lembar-lembar buku cerita
hingga habis kata,
beberapa hanya datang untuk pergi kembali, tentu saja tetap ada cerita dari mereka
.

Ia berusaha tak terpejam, sementara malam terus melagu.
Wajah pemain gitar hanya terlihat separuh ditelan lampu temaram,
dan ia tak pernah peduli. Bahkan waktu juga tak peduli.

Dari sini aku bisa melihat duniamu, bahkan di balik nada-nada itu.
Mungkin saat pagi datang nanti, kamu akan kembali ke café itu, atau pulang ke rumah, meminum secangkir teh-manis-hangat dan menulis di buku ceritamu yang hanya kamu sendiri yang tahu.
Sementara aku akan lelap di kasurku, memimpikan potongan-potongan cerita yang tak pernah selesai dapat kurekatkan jadi satu.


Ia tak pernah meminta pemain gitar berbicara padanya, ia hanya ingin melihatnya
sepanjang malam, memainkan lagu yang beraneka.
Barangkali cinta, atau apa.

Dan ia tetap tak peduli, yang ia tahu kini ia bahagia
: pemain gitar ada di hadapannya.

Pada akhirnya subuh yang menyudahi segala. Mengapa harus ada perpisahan di tiap
perjumpaan? Yang ia tahu, perpisahan adalah melupakan.

Mungkin besok malam ia bisa membawa pulang pemain gitar lagi dari café itu,
tapi tak ada yang pernah pasti.

Tiba-tiba ia benci dengan dunia yang serba-mungkin.
Tiba-tiba ia takut mengucapkan selamat tinggal.

Kamu tahu, aku ingin selamanya berada di sini.



2 Agustus 2011, 22:15

Jul 14, 2011

Aku Ingin Kamu Selalu Ada (terjemahan dari "I Like for You to be Still", Pablo Neruda, Sonnet XV)

Aku ingin kamu selalu ada; meskipun kamu tak ada,
dan kamu mendengarku dari kejauhan, meskipun suaraku tak mampu menyentuhmu.
Meskipun kedua matamu tak terperikan, namun di bibirmu selalu terkunci sepotong kecupan.

Selayaknya segala yang terisi sukmaku,
kamulah segala, terisi sukmaku.
Kamulah jiwaku, kupukupu dalam mimpiku,
dan kamulah sepenggal Melankolia.

Aku ingin kamu selalu ada, namun seakan kamu menjauh.
Seakan kamu meratap, sedang kupukupu pun mendengkur serupa merpati.
Dan kamu mendengarku dari kejauhan, meskipun suaraku tak mampu mencapaimu:
biarkan aku kekal dalam kebisuanmu.

Dan biarkan aku berbicara padamu lewat kebisuanmu
cerah seperti sinaran, sederhana seperti cincin.
Kamulah malam, dengan kesunyian dan gemintang.
Kebisuanmu adalah bintang yang jauh dan tersembunyi.

Aku ingin kamu selalu ada; meskipun kamu tak ada,
Berjarak dan penuh dukacita seakan kamu telah tiada.
Satu kata, satu senyuman sudahlah cukup.
Dan aku bahagia, bahagia karena semua hanyalah maya.

Jul 4, 2011

Sepotong Surat dari Mimpi


Entah bagaimana awalnya, aku memanggilmu Indrasmara. Indrasmara, satu-satunya nama yang terlintas saat itu, saat aku mulai menciptamu dalam pikiranku. Kala itu kamu seperti rimis, berloncatan tak tentu arah. Aku mencoba menangkapnya perlahan, menyusun kepinganmu satu persatu hingga membentuk sebuah jiwa: kamu, yang kemudian aku namakan Indrasmara. Aku tak tahu mengapa aku memilih Indrasmara, aku tak terlalu pandai memilih dan mereka-reka nama.

Mungkin Indrasmara berasal dari dua kata, Indera dan Asmara. Beberapa kali aku mengatakan pada orang-orang, Indrasmara adalah kelima indera yang sedang dilanda asmara, padahal sesungguhnya aku tak terlalu yakin. Pernah seorang teman memberitahu, Indrasmara berarti perang cinta, tapi siapa yang tahu? Ah, betapa arti Indrasmara hanya bisa diterka-terka, sama sepertimu.

Aku menciptamu dengan cinta yang aku tambahkan di sana-sini, menutupi segala kekurangan yang mungkin dimiliki manusia. Aku bisa membuatmu menjadi sesempurna mungkin, kamu bisa melintas ruang dan waktu. Ah, Indrasmara, bahkan kamu bisa membaca pikiranku, tentu saja! Sesekali kamu memenuhi lembar-lembar buku sketsaku, juga tulisan-tulisan yang hampir semuanya hanya setengah jadi. Sesekali kamu aku ajak bepergian ke tempat-tempat yang jauh; bersepeda mengelilingi taman kota yang masih sepi, berjalan menyusuri pantai, melihat reruntuhan kota tua, dan menikmati malam yang tersisa di kedai kopi kesukaanku.

Kamu hidup, Indrasmara, meski hanya sebatas kata-kata. Kadang aku mencoba menyiasatimu dalam lagu-lagu –lagu apa saja yang aku dengar, yang aku rasa tepat untukmu. Aku juga mencoba membuatmu hidup dalam nada-nada itu, Indrasmara, supaya kamu dapat menari di sela-sela larik yang sendu. Apakah kamu mampu merasa? Aku menciptamu mampu merasa, tapi aku tak tahu apakah kamu benar-benar bisa merasa. Kamu seperti malaikat. Dingin di tanganku, apakah dingin juga di tanganmu?

Setiap malam, ketika aku tidur, kamu melayang-layang di atas sana, bersembunyi di sudut langit-langit kamar, atau mengamati lampu gantung yang temaram. Kamu tidak tidur, kamu selalu terjaga bersama segala kesempurnaan yang ada pada dirimu. Mungkin tanpa sepengetahuanku, kamu sering berjalan-jalan di sekeliling teras, menunggu hingga fajar kembali dan menyambutku yang baru terjaga dari mimpi. Mimpi adalah bagian dari dirimu, Indrasmara. Kamu tercipta dari mimpi-mimpi yang berserakan, tak teratur, sedikit doa, juga angan.

Sekali waktu aku ingin sekali melihat wujudmu, aku ingin melihat dirimu senyata-nyatanya, keluar dari pikiranku. Sekali waktu aku ingin melihatmu ada, meskipun hanya melintas di tengah keramaian, atau menyamar di antara tamu-tamu kedai kopi yang sering aku kunjungi. Aku telah menciptamu dengan begitu sempurna, Indrasmara. Tidakkah sangat menyenangkan bila aku bisa benar-benar bertemu denganmu? Aku ingin kamu tidak hanya sekadar deretan kata yang berjejal dalam buku catatanku.

Adakah kamu dapat merasa, seperti yang selama ini aku risaukan? Jika kamu mampu merasa, Indrasmara, kamu akan tahu betapa cinta dan rindu adalah luka yang setia membakar jantungmu. Kamu bukan lagi sekadar potongan nama, Indrasmara. Kamu bisa siapa saja.

Jelmalah nyata, Indrasmara.



30 Juni 2011
Hadiah ulang tahun yang terlambat

Jun 24, 2011

Anggi


Adikku yang satu itu memang gemar memberi kejutan. Di antara kami bertiga; aku, ia, dan Randa, ialah yang paling bisa mengubah hal-hal kecil menjadi sangat bermakna.

Misalnya, ketika pertama kalinya tulisanku dimuat di koran mingguan, ialah yang sibuk menggunting-gunting artikel sederhana itu dan membingkainya, memajangnya tepat di atas meja di ruang tamu tanpa sepengetahuanku. Ia juga pernah membuat Randa tercekat ketika ia menangis di pojok dapur karena gagal membuat tiramisu kesukaan Randa yang –tadinya, akan dijadikan kejutan saat Randa lulus sekolah menengah tahun lalu. Juga setiap salah satu dari keluarga kami ulang tahun, kejutan-kejutan darinya seakan tak pernah berhenti. Mungkin karena ia adalah satu-satunya anak perempuan, atau entahlah, yang membuat ia merasa bertanggung jawab meramaikan suasana rumah kami. Maka tak heran jika ayah dan ibu sangat sayang padanya, sangat bangga padanya.

Adikku yang satu itu memang gemar memberi kejutan, bahkan pada saat kematiannya. Pagi ini, ayah menerima telepon dari rumah sakit. Adikku kecelakaan, katanya. Sebuah mobil yang melaju kencang menghempasnya ketika ia menyeberang jalan. Ia meninggal saat itu juga, kaki dan tangannya patah, tengkoraknya retak. Tabrak lari. Mengenaskan sekali, adikku yang manis itu, yang selalu membuat orang di sekitarnya bahagia, harus menutup usianya karena tabrak lari. Ayah sesak napas, airmatanya mengalir. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat ayah menangis, bahkan ketika kakek meninggal pun ayah tak menangis. Hal yang lebih buruk terjadi pada ibu. Ibu pingsan, tapi aku sangat dapat memahaminya.

Seisi rumah tiba-tiba sibuk; pembantu kami berusaha membangunkan ibu dengan memijit-mijitnya dan mengoleskan minyak angin di bawah hidungya, sedang aku sibuk menenangkan ayah sambil melawan emosiku sendiri untuk tidak ikut menangis. Saat itu Randa sudah berada di kampus. Sambil mengusap-usap punggung ayah, aku mencoba menghubungi Randa. Sesuai dugaan, Randa tak mengatakan sepatah kata pun ketika mendengar kabar dariku. Sambungan telepon diputus.

Kejutan yang sangat hebat, Anggi… Kurang dari tiga jam yang lalu, kami berlima masih berkumpul di ruang makan. Sarapan, seperti biasanya. Ibu membuat telur dadar dan nasi goreng, sambil terus-menerus mengingatkan Randa agar tidak terlalu banyak minum kopi. Ayah sibuk dengan kacamata yang baru dibelinya kemarin, mengelap dan mengelapnya kembali sampai menjadi sangat mengilap, hingga ibu menegurnya karena ayah tak juga memakan nasi goreng yang sudah ada di hadapannya. Sementara itu, Anggi dengan mulut yang masih penuh mengeluh pada ibu karena nasinya terlalu pedas. Tak ada yang lain pagi itu, semua sama seperti biasanya. Bahkan Anggi sendiri pun mungkin tak tahu jika pagi ini juga ia akan bertemu malaikat.


***


Mil, Anggi udah pulang, belum?, tiba-tiba ayah menutup Qur’annya dan bertanya padaku, di tengah pengajian yang sedang berlangsung.

Aku menarik napas panjang. Yah, Anggi udah tenang, Yah…

Masya Allah Mil, ini udah malem lho. Kamu atau Randa, jemput Anggi, sana.

Aku meneruskan membaca Yaasin, sengaja tak menghiraukan ucapan ayah, karena aku tahu penjelasanku akan semakin melukai hatinya. Di sebelahku, Randa tak banyak bicara. Ia bahkan tak ikut membaca Yaasin, tangan kanannya menggenggam Qur’an, sedangkan tangan kirinya sibuk menyeka bulir airmata yang tak sempat merembes ke pipi. Malam itu, rumah kami sesak oleh keluarga, tetangga, serta kerabat. Jarang sekali rumah kami seramai ini, mungkin terakhir kali ketika khitanan Randa belasan tahun silam. Semua berkumpul, bahkan tanpa rencana. Tentu saja, siapa yang bisa merencanakan kematian?

Aku melihat sekelilingku, ramai, tapi hampa. Puluhan orang kusyuk membaca doa-doa; memohon keselamatan Anggi di alam sana, memohon supaya Anggi senantiasa bahagia. Anggi pasti bahagia. Seperti yang pernah kubaca dalam sebuah cerita, kematian adalah sesuatu yang bahagia, sehingga tak selayaknya ditangisi. Tapi benarkah demikian? Mungkin kematian memang membahagiakan, untuk yang meninggal, bukan yang ditinggal. Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan membaca ayat berikutnya. Sementara itu, di rumah bagian belakang, nenek dan yang lainnya sibuk menata air mineral dan makanan kecil untuk para tamu dengan wajah yang masih sembap, sambil sesekali mengusap airmata tuanya, mencoba terlihat tegar.

Seharusnya malam ini aku dan Anggi duduk-duduk di ruang tengah. Karena ini malam Sabtu, kami akan menonton film serial kesukaan kami bersama, sambil membolak-balik majalah atau mengutak-atik telepon genggam dan menunggu Randa pulang. Hampir tiap hari Randa pulang malam. Alasannya beragam; mulai dari sibuk mengerjakan tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya, bermain futsal, hingga entahlah hal apa yang dilakukan remaja seusianya. Malam ini Randa tak ke mana-mana, hanya duduk bersila di pojok ruangan, masih belum membuka Qur’annya.

Emil, ada yang nyari kamu.


***


Usiaku dan Anggi hanya terpaut dua tahun. Sejak kecil, kami bertiga selalu belajar di sekolah yang sama, tumbuh bersama dengan cerita-cerita yang kami bagi bersama. Tidak ada yang tidak aku ketahui dari Anggi, juga rahasia-rahasia masa remajanya yang tak mungkin ia sampaikan ke Ayah atau Ibu. Aku selalu melindunginya, misalnya saat ia mencoba pergi ke diskotik bersama beberapa temannya, saat ia diskors karena ketahuan merokok di kamar mandi sekolah, atau saat ia tak lulus dalam beberapa mata kuliah di semester awal; kenakalan-kenakalan remaja yang masih wajar dan tidak terlalu kelewat batas. Sebagai kakak, aku selalu mencoba menutupinya, hingga kadang aku harus berpura-pura dan berbohong pada Ayah dan Ibu, untuk melindunginya.

Emil, ada yang nyari…

Mungkin seharusnya aku tak usah menemuinya. Tidak hanya malam ini, tapi juga hari-hari berikutnya, mungkin seharusnya aku tak perlu menemuinya. Tapi lelaki yang kukenal sebagai kekasih Anggi itu telah berdiri di hadapanku, dengan wajah dan airmata yang tak terjelaskan. Lagi-lagi sebuah kejutan. Kini aku harus berpura-pura tidak mengetahui bahwa Anggi meninggal bukan hanya karena tabrak lari.



22 Juni 2011

Jun 12, 2011

Malam Ini, Aku Bisa Menulis (terjemahan dari "Tonight I Can Write", Pablo Neruda, Sonnet XX)

Malam ini, aku bisa menulis baris tersendu.

Menulis, misalnya, “malam berbintang dan membiru, gemetar dalam kejauhan.”

Angin malam berputar di angkasa, bersenandung.

Malam ini, aku bisa menulis baris tersendu.
Aku mencintainya, kadang ia mencintaiku.

Malam seperti ini, biasanya kulewati dengan menggenggamnya.
Kukecup dirinya, lagi dan lagi, di bawah langit tak berujung.

Ia mencintaiku, kadang aku mencintainya.
Bagaimana mungkin aku tak mencintai matanya yang indah.

Malam ini, aku bisa menulis baris tersendu.
Memikirkan bahwa ia tak lagi milikku. Merasakan bahwa aku telah kehilangannya.

Mendengar bisik semesta yang tak terjamah, yang akan semakin tak terjamah tanpanya.
Sajak pun terburai, seperti embun di padang rumput.

Mengapa cintaku tak kuasa menahannya.
Malam berbintang, dan ia tak bersamaku.

Inilah segala. Di kejauhan seseorang bersenandung. Di kejauhan.
Jiwaku tak terpuaskan karena telah kehilangannya.

Benakku mencoba menemukannya, seolah mampu mendekatkannya padaku.
Hatiku mencarinya, tapi ia tak bersamaku.

Malam yang sama memutihkan pohonan.
Kita, kini, tak lagi sama.

Aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi betapa aku pernah mencintainya.
Suaraku mencoba meraba angin, berharap ia dapat mendengarnya.

Orang lain. Ia akan menjadi milik orang lain. Seperti ia yang sebelum kukecup.
Suaranya, tubuhnya. Matanya yang tak berbatas.

Aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi mungkin aku mencintainya.
Mencinta begitu cepat, melupakan begitu kekal.

Karena malam seperti ini, biasanya kulewati dengan menggenggamnya,
jiwaku tak terpuaskan karena telah kehilangannya.

Biarlah ini menjadi luka terakhir yang membuatku menderita
dan ini adalah sajak terakhir yang kutulis untuknya.

Kamu, di Dalam Kepala, di Dalam Bis yang Melaju


Tiba-tiba kamu muncul, tadi, waktu aku masih dalam perjalanan menuju rumah. Aku kira aku akan marah, seperti yang selalu kulakukan akhir-akhir ini. Bis melaju perlahan, memasuki sebuah terowongan yang seakan tak ada ujung. Kamu masih diam di dalam kepalaku, beku, sementara lagu sendu terus diputar berulang-ulang.

Aku tak tahu apa yang kamu lakukan di dalam sana, sepertinya kamu menulis sesuatu, kadang tertawa hampa. Sengaja kudiamkan kamu di sana beberapa waktu, sambil memperhatikan dinding terowongan yang penuh coretan kelabu. Sekarang kamu berlari di antara hujan yang entah mengapa bisa turun di dalam sana, aku tidak merasa menciptanya, lalu siapa? Apakah kamu sudah mulai bisa mengendalikan pikiranku?

Terowongan masih belum habis. Coretan-coretan di dindingnya semakin kelam, entah siapa yang pernah membuatnya di sana, di dalam terowongan dengan sedikit cahaya, hingga membedakan warna cat yang akan dipakai pun pasti sulit. Hujan dalam kepalaku telah berhenti, kini kamu diam, menatapku dengan kosong. Tangan kananmu menggenggam sesuatu; tentu saja itu adalah sebuah buku, buku yang penuh dengan coretanku. Kamu berlari ke sebuah sudut yang gelap di dalam sana, duduk. Lembar demi lembar buku itu mulai kamu buka satu-persatu. Kamu ingat ini, Mina?

Bis terus melaju menembus pekatnya terowongan yang seakan tanpa ujung, aku mulai resah. Kamu masih membuka lembar-lembar buku itu, sambil beberapa kali menunjukkan gambar-gambar yang ada di dalamnya: beberapa genggam senyum yang pernah kugambar, dan banyak gambar mata dalam berbagai warna, bentuk, dan ukuran. Kamu tersenyum puas. Kamu tahu, Mina, ada yang menunggumu. Ada yang mengingatmu kala rimis. Ada yang mau menyebut namamu. Jikalau itu bukanlah aku, Mina… Kamu tak menyenyelesaikan ucapanmu, tiba-tiba kamu pergi.

Seberkas cahaya muncul dari ujung terowongan, silau, yang lama-kelamaan memendar, meluas, tak lagi menyakitkan mata. Akhirnya bis melaju keluar dari terowongan disambut langit yang biru muda. Kupikir di luar akan mendung, ternyata cerah. Aku mengusap kedua pipiku yang membeku kedinginan. Apa ini? Airmata?


24 April 2011

Ketika Kuriositas menjadi Komoditas; Prosa Chekhov dan Veven S. P. dalam Kajian Sastra Bandingan


/1/
Sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Dalam sastra bandingan, kita membandingkan unsur-unsur yang terdapat dalam dua karya sastra yang dijadikan sebagai objek, misalnya unsur psikologis, sosial, hukum, atau unsur-unsur lainnya. Ada dua mashab dalam sastra bandingan, yang pertama adalah mashab Prancis yang mengharuskan dua objek yang dibandingkan adalah karya sastra, misalnya puisi dengan novel, sedangkan mashab yang kedua adalah aliran Amerika yang tidak mengharuskan karya sastra menjadi objek yang dibandingkan, misalnya film dengan novel, lagu dengan puisi, dan lain-lain.

Selain mashab, juga terdapat dua pendapat berbeda mengenai konsep dasar sastra bandingan. Menurut Remak (1990), konsep dasar sastra bandingan adalah membandingkan dua karya yang berasal dari dua negara yang berbeda. Maka, membandingkan dua karya yang berasal dari satu negara tidak dapat dikatakan sebagai sastra bandingan. Hal ini dibantah oleh Nada (1990) yang mengatakan bahwa ia tidak sependapat dengan Remak karena dalam satu negara bisa saja terdapat kebudayaan serta keadaan sosial yang heterogen.

Membandingkan dua buah karya, baik karya sastra dengan sastra, atau karya sastra dengan bentuk karya lain, sebenarnya yang diperlukan hanyalah kejelian serta pengetahuan yang luas mengenai hal-hal di dalam maupun di luar sastra itu sendiri. Pemahaman mendalam mengenai kebudayaan, bahasa, aspek sosial dan politik, hukum, serta psikologis sangat diperlukan sehingga dapat diketahui dengan jelas apa yang menyebabkan dua buah karya mirip atau senuansa.

Hal yang senuansa itulah yang ditemui dalam dua prosa lintas negara, “Karya Seni” (“A Work of Art”) yang ditulis oleh Anton Chekhov dan “Déjà vu Kathmandu” karya Veven S.P. , yang akan dijadikan objek dalam makalah ini. “Karya Seni” yang dialihbahasakan oleh Anton Adiwiyoto ini mengangkat kisah sebuah barang antik yang diberikan seorang gadis kecil sebagai hadiah kepada dokter yang telah berhasil menyembuhkan ibunya. Dokter tersebut, yang tercengang dengan barang yang berupa patung tersebut akhirnya memberikan pemberian si gadis kepada rekannya yang seorang pengacara. Dari situlah konflik dibentuk, sebab sang pengacara juga tercengang dan memberikan patung itu kepada teman lamanya yang seorang pelawak, sampai akhirnya patung antik tersebut kembali ke si gadis.

Sementara itu, “Déjà vu Kathmandu” mengisahkan pertemuan seorang lelaki dan perempuan di tanah Hindustan, yang keduanya sama-sama merasa seakan pernah bertemu, tapi entah di mana. Baik Chekhov maupun Veven, keduanya membawa pembacanya berpetualang dari awal hingga akhir cerita dengan membawa satu pertanyaan yang sebenarnya merupakan hal penting dalam membangun cerita masing-masing. Dalam “Karya Seni”, pembaca terus dibuat bertanya, sebenarnya bagaimakah wujud patung antik yang begitu mencengangkan itu? Sedangkan dalam “Déjà vu Kathmandu”, Veven juga terus membuat pembacanya bertanya kapan sebenarnya mereka berdua pernah bertemu? Hal inilah yang menarik, ketika kuriositas pembaca dijadikan komoditas, ketika rasa penasaran dan keingintahuan menuntut pembaca untuk cepat-cepat menyantap suatu cerita hingga habis.

/2/
Diperlukan sebuah tempat lilin yang indah mempesona untuk meyakinkan mereka –dokter, pengacara dan pelawak – bahwa jauh lebih menyenangkan memberi daripada menerima.” (Pengantar dalam “Karya Seni”)

Sasha Smirnov, anak tunggal seorang pengoleksi barang antik, tak pernah mengira bahwa pemberian sebagai rasa terima kasihnya kepada dokter Koshelkov akan menjadi polemik yang cukup besar bagi beberapa orang di kemudian hari. Pemberian itu, sebuah patung tempat lilin indah peninggalan ayahnya, begitu mengejutkan dokter Koshelkov. Pada mulanya dokter Koshelkov menolak karena meskipun patung tersebut amat indah dan langka, patung tersebut terlalu cabul. Cabul; tak hanya mungkin sedang bertelanjang, melainkan wanita-wanita yang menjadi bagian dari patung tersebut juga melakukan sesuatu yang tak layak. Lucunya, Chekhov, dalam cerita ini, tak hanya tidak menyebutkan pose apakah yang membuat kedua wanita tersebut menjadi terlihat amat cabul, melainkan juga menuliskan komentarnya sendiri terhadap patung yang tak senonoh itu, sehingga keingintahuan pembaca mengenai wujud patung ini semakin besar.

Di atas panggung berdiri dua sosok tubuh wanita memakai busana Ibu Hawa dan dalam sikap yang saya sendiri tidak mempunyai keberanian untuk memerikannya. Kedua wanita ini tersenyum genit dan pada umumnya memberikan kesan kepada orang bahwa seandainya mereka tidak harus menopang lilin, mereka akan turun dari panggung dan melakukan sesuatu yang…pembaca yang baik, saya bahkan malu memikirkannya saja!” (“Karya Seni” dalam Buku Harian Seorang Gila hlm. 9)

Chekhov rupanya tak berhenti di situ, melalui dokter Koshelkov, ia semakin membuat pembaca semakin penasaran sebab dokter Koshelkov pun akhirnya memberikan pemberian itu kepada rekannya seorang pengacara Ukhov. Seperti yang kita duga, Ukhov pun pada awalnya menolak patung yang tidak lazim tersebut. Ukhov yang mulai frustasi akhirnya memutuskan untuk memberikan pemberian tersebut kepada teman lamanya, pelawak Shoskin. “Aku tahu! Sore ini juga aku akan berikan kepada pelawak Shoskin. Bajingan itu menyukai benda-benda seperti ini.” (hlm. 13). Jadi, seburuk apakah sebenarnya patung tersebut, hingga orang yang mungkin menyukai patung tersebut layak dikatakan sebagai bajingan? Pada bagian sebelumnya, dokter Koshelkov juga mengatakan kepada Sasha “Beezelbub sendiri tidak akan bisa memikirkan sesuatu yang lebih buruk lagi” (hlm. 10). Bahkan Beezelbub, raja iblis, sekalipun dikatakannya tak akan bisa memikirkan yang lebih buruk daripada patung itu. Bukankah patung tersebut indah?

Pada akhirnya, Shoskin yang berhasil menolak pemberian Ukhov memberi saran bahwa patung semacam itu lebih baik dijual kepada penjual patung perunggu antik bernama Smirnova. Ukhov, yang tidak menemukan cara lain untuk menjauhkan patung tersebut dari dirinya, mengikuti saran Shoskin untuk menjual patung pada Nyonya Smirnova yang tak lain adalah ibu dari Sasha Smirnov.

Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Sasha Smirnov yang amat senang mendapatkan patung yang identik dengan patung yang pernah diberikannya kepada dokter Koshelkov kembali ke ruang praktik dokter itu dengan wajah berseri sambil membawa patung yang baru saja didapatnya. Sasha Smirnov, dengan cerianya, mengatakan bahwa ia menemukan pasangan dari patung yang pernah diberikannya dan dokter Koshelkov layak mendapatkan patung kedua itu. Cerita pun berakhir dengan dokter Koshelkov yang menganga tanpa sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dan rasa penasaran yang masih belum terbayar di pihak pembaca.

Tidak jauh berbeda dengan Chekhov, Veven S. P. juga memaksa pembacanya untuk terus bertanya mengenai satu hal yang cukup krusial dalam membangun keutuhan cerita tersebut. Xiao Qing, wanita yang berusaha menjauhkan dirinya dari sebuah negara yang tak mau disebutkannya bahkan diingatnya lagi, bertemu dengan Xu Xian, seorang reporter yang sedang bertugas di Kathmandu, India. Pada awal perkenalan mereka, baik Xiao Qing maupun Xu Xian, merasa pernah saling mengenal dekat, entah kapan dan di mana. Hal ini terus mereka ungkapkan sepanjang kebersamaan mereka.

Rasanya pertanyaan itu adalah sebuah pernyataan . aku juga pernah merasakan, sebelumnya kami memang pernah berjumpa. Atau kami malah saling mengenal, kenal dengan dekat bahkan.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil Aku Pheng Hwa)

Rasa penasaran di antara keduanya semakin meningkat setelah mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Pertanyaan-pertanyaan yang sama, mengenai kapan dan di mana kira-kira mereka pernah bertemu, terus saling mereka lontarkan. Sempat mereka berdua cukup sepakat, bahwa mungkin saja mereka adalah reinkarnasi dari Xiao Qing dan Xu Xian, dua nama tokoh legenda Cina yang mereka gunakan sebagai nama samaran, sehingga pada kehidupan selanjutnya, yaitu kehidupan mereka saat ini, mereka merasa pernah mengenal dengan amat dekat.

Xiao Qing adalah nama siluman ular hijau dalam cerita tentang dua siluman ular yang bertapa sampai beratus-ratus tahun memohon pada dewa agar mereka bisa menjelma menjadi manusia. Xu Xian, nama yang kuperkenalkan secara spontan sebagai nama diriku, adalah nama seorang tabib yang kemudian jatuh cinta pada salah satu jelmaan siluman itu. Bai Su-zhen, namanya.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil Aku Pheng Hwa)

Ada yang sedikit misterius dari Xiao Qing, yaitu kebenciannya tehadap suatu negeri yang bahkan tak pernah mau diingatnya. Ingatan buruk tersebut muncul lagi ketika Xiao Qing dan Xu Xian menonton pertunjukan musik yang, menurut Xu Xian, mengingatkannya kepada tanjidor, musik tradisional yang berasal dari negeri yang tak ingin diingat Xiao Qing itu. Hingga bagian ini para penonton tentu saja akan bertanya-tanya Indonesia? Adakah hubungan Indonesia dengan pertemuan Xiao Qing dan Xu Xian yang sebelumnya?

Akan tetapi, Veven rupanya jauh lebih baik hati daripada Chekhov yang membiarkan pembacanya menderita hingga akhir cerita. Hal ini terbukti dari kerelaannya memberi informasi yang amat penting, yaitu perihal apa yang tsebelumnya erjadi antara Xiao Qing dan Xu Xian sehingga mereka dapat merasakan kedekatan yang tidak lazim untuk dua orang yang kemungkinan besar tidak pernah bertemu sebelumnya. Setelah pembicaraan yang menguras emosi antara Xiao Xing dan Xu Xian di kamar hotel, mereka memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan mereka masing-masing seperti sebelumnya. Pada saat itulah, Veven, tanpa melalui tokoh-tokohnya, memberikan pemaparan mengenai hubungan antara Xiao Qing dan Xu Xian.

Kalau saja nanti di Jakarta dia membuka-buka file di komputernya, dia akan menemukan tulisannya mengenai pemerkosaan massal yang pernah terjadi di negerinya. Dalam file yang disimpan. Dalam folder khusus itu, lelaki itu juga mendokumentasikan seorang perempuan yang wajahnya sama persis dengan Xiao Qing. Folder khusus itu menampung sejumlah tulisannya yang ditolak media massa yang tak berkehendak memuatnya.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil aku Pheng Hwa)

Cerita selelsai. Rasa penasaran pembaca terbayar, namun cerita tak pernah selesai bagi tokoh-tokoh di dalamnya; Xiao Qing dan Xu Xian. Mereka berdua tetap menyimpan rasa bertanya-tanya, kapan dan di mana mereka pernah bertemu. Seandainya Xiao Qing dan Xu Xian bisa bertanya seperti pembaca, mereka pastilah akan tetap mencari tahu.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, baik Chekhov dan Veven, sama-sama menghadirkan suatu gaya penceritaan yang mampu mengikat pembacanya hingga akhir cerita. Kuriositas inilah yang menarik perhatian para pembaca, sama seperti ketika kita dihadapkan pada cerita-cerita detektif semacam novel-novel Agatha Christie yang menjengkelkan –terkadang membosankan di bagian tengah, tetapi tak bisa ditinggalkan begitu saja karena jawaban yang ditunggu bisa saja tersembunyi di setiap kata – namun dengan tema yang lebih ringan. Di situlah kesenangan muncul, dalam sebuah cerita yang tak cukup berat namun tak juga ringan, tetapi menyimpan sebuah petualangan tersendiri.

/3/

Dalam cerita pendek “Karya Seni” (“A Work of Art”) karya Anton Chekhov dan “Déjà vu Kathmandu” karya Veven S. P., sama-sama menyajikan cerita dengan beberapa pertanyaan yang hampir tak terjawab, padahal sesuatu yang hilang tersebut kiranya sangat penting dalam membangun keutuhan cerita. Dalam “Karya Seni” kita dipaksa terus ingin tahu mengenai bentuk dari patung milik Sasha Smirnova yang begitu mengagetkan banyak orang. Sementara itu, dalam “Déjà vu Kathmandu”, Veven memaksa kita sebagai pembaca untuk terus tetap membaca hingga akhir cerita, melewati bagian tengah cerita yang sebenarnya tak terlalu ‘mengena’; berjalan-jalan di seputaran Kathmandu dan hampir tertabrak sepeda motor, yang ternyata bukan merupakan konflik yang terlalu berarti, demi mencari jawaban yang mungkin saja terdapat di akhir cerita.

Mengenai kesamaan, keduanya menjadikan rasa penasaran pembaca sebagai sesuatu yang dapat menarik keinginan untuk terus membacanya hingga akhir cerita. Hal inilah, yang dalam makalah ini, menjadi objek dari kajian sastra bandingan itu sendiri. Kuriositas memang selalu berhasil menjadi sesuatu yang menarik, seperti seharusnya.







Sumber
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.
Nugroho, Yanusa (ed.). 1993. Buku Harian Seorang Gila dan Cerita-cerita Lainnya. Jakarta: Mitra Utama.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Werdana, Veven S. P. 2002. Panggil Aku Pheng Hwa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Apr 29, 2011

Malaikat Tersesat


Bagaimana mungkin sesosok malaikat mencintaiku?

Sayapnya separuh mengembang menghalang silau yang masuk lewat jendela kamar, berpendar, memancar titik-titik cahaya yang memantul dari rambut tembaga.

Ia datang tiba-tiba, ketika aku baru membuka mata setelah melintas mimpi yang panjang. Membangunkanku dengan desah napasnya: napas yang tak biasa. Ia datang tanpa aku minta.

Tuhan menitipkan salam untukmu bisiknya pesona. Ia nyata, senyata selimut kelabu yang menutup separuh badanku, juga kertas-kertas yang berhamburan di lantai kamar: tulisan-tulisan yang tak pernah selesai.

Mungkin ia turun dari langit saat aku tidur semalam; memperhatikanku terlelap hingga subuh, menatap mataku yang pejam, sambil sesekali bernyanyi lirih
:nyanyi surgawi.

Aku tak pernah tahu apa yang membawanya kepadaku, yang aku tahu kini ia mengulurkan tangannya yang sedingin batu, beku. Seketika ia memberi cinta.

Ia lenyap begitu saja. Angin menerobos tirai yang tadi terhalang sayap putihnya. Aku kembali sendiri, tersesat antara maya dan fana, antara ingat dan lupa. Bahkan potongan kata menertawakanku.

Bagaimana mungkin sesosok malaikat menyakitiku?


28 April 2011

Apr 21, 2011

Puisi Cinta untuk Indrasmara


Kau tahu, Indrasmara, rindu tak semudah ketika kau mengucapkannya.

Indrasmara, andai saja aku bisa menerjemah mimpi ke dalam kata, kau akan mengerti betapa kejamnya cinta.

Aku ingin masuk ke dalam duniamu, Indrasmara, dunia yang tak kuhafal, tapi selalu kucoba mengejanya perlahan.

Subuh selalu mengingatkanku padamu, terkadang ingatan itu merusak mimpi, tapi apalah arti mimpi yang terlupa karena itu pasti tentangmu, Indrasmara.

Maka kutulis puisi yang mendayu dayu tentangmu, setiap pagi, sambil menatap langit yang tercabik reranting pohon kapuk.

Indrasmara, beberapa orang terlambat datang. Ah, andai tak ada kata terlambat, Indrasmara, untuk mencapai hatimu yang selembar daun itu1.

18 April 2011







1 terinspirasi sajak Sapardi Djoko Damono, “Hatiku Selembar Daun”.

Apr 17, 2011

Kau Memanggilku Malaikat: Populerkah Malaikat?



/1/ Sastra Populer; Sastra yang Termarjinalkan

Dalam dunia kesusastraan, sastra populer seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap kurang layak dipelajari dalam kegiatan akademis. Hal ini terbukti dari minimnya pembelajaran mengenai sastra populer itu sendiri di institusi resmi seperti universitas. Salah satu alasannya, sastra populer bukanlah suatu ilmu yang harus dan penting untuk dipelajari. Karya sastra populer, sekonyong-konyong diberi cap ‘tidak setara’ dengan karya sastra lain yang sifatnya lebih serius. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga muncul jurang pemisah tersebut?

Sastra populer sendiri pada awalnya merupakan salah satu wujud dari seni massa. Adorno mengemukakan, kebudayaan massa yang dipengaruhi oleh industrialisme dan kapitalisme menuntut suatu hiburan (seni) yang bernilai guna dan bernilai profit. Dari kebudayaan itulah muncul suatu produk seni yang berdaya jual dan mampu memuaskan masyarakat. Produk seni yang dihasilkan tentu saja yang dapat dinikmati oleh semua orang dan tidak mengacu pada golongan-golongan tertentu. Karena orientasinya adalah pasar, maka produk tersebut tidak lagi dihasilkan berdasarkan ‘keinginan’ produsennya, melainkan selera konsumen. Apa yang saat itu dapat menjadi komoditas dan bernilai jual, maka itulah yang diproduksi. Secara tidak langsung, konsumen menjadi pengendali atas munculnya produk-produk seni tersebut.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sastra populer merupakan salah satu wujud dari permainan komoditas tersebut. Masyarakat –dalam konteks ini merupakan masyarakat awam, membutuhkan hiburan berupa bacaan yang sifatnya ringan dan mudah dicerna. Maka muncullah berbagai bacaan ringan yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, seperti novel-novel percintaan remaja, polemik rumah tangga, atau kisah tragis perjalanan hidup seseorang. Yang disajikan cenderung klise, mudah ditebak, dan tidak menimbulkan pertanyaan apa-apa setelah membacanya, mengingat karya-karya ini memang sekadar berfungsi sebagai hiburan saja.

Penulis-penulis populer pun banyak bermunculan, misalnya di Indonesia, sebut saja Mira W. yang terkenal dengan novel percintaannya, Hilman dengan Lupus yang fenomenal, atau yang terbaru dan sempat mendongkrak sastra populer-reliji, Habiburrahman El-Shirazy dengan Ayat-ayat Cinta-nya. Karya-karya mereka memang klise, namun memiliki daya jual dan dapat menghibur masyarakat dari segala lapisan.

Karena sifatnya yang sekadar menghibur itulah karya sastra populer dianggap kurang bermutu oleh kaum elit sastra. Poin-poin yang diutamakan dalam karya sastra populer tentu saja berbeda dengan karya sastra ‘serius’ yang memegang teguh prinsip dulce et utile. Sastra, menurut golongan elit, merupakan suatu wujud ekspresi diri yang tidak boleh ada campur tangan pembacanya. Sastra merupakan seni murni, perwujudan hasrat untuk berkarya, entah ada atau tidak yang membacanya nanti. Sastra bukanlah sebuah komoditas.

Perbedaan antara kedua ‘kelompok’ tersebut bukan hanya berupa sudut pandang dalam memaknai kata ‘sastra’ atau ‘berkarya’ itu sendiri, melainkan terdapat pula unsur-unsur lain yang menurut Ken Gelder dalam Popular Fiction: The Logics and Practices of a Literary Fields menjadi pembeda dalam menilai apakah suatu karya dapat dikatakan populer atau tidak.

Karya sastra populer pada umumnya menampilkan suatu realitas mimpi yang bersifat subjektif, misalnya seseorang yang bercita-cita berkuliah di luar negeri. Pemunculan stereotype termasuk dalam unsur ini, misalnya tokoh idola dalam novel remaja hampir selalu adalah siswa tampan, vokalis band, aktif dalam OSIS, dan berasal dari keluarga berada –hal yang sangat klise.

Unsur lain yang menjadi pembeda dari karya sastra populer adalah bahasa yang digunakan sederhana dan tidak memberatkan pembacanya, karena tujuan utama sastra populer adalah menghibur para pembaca dan berorientasi pada masyarakat umum. Keaslian atau orisinalitas dalam sastra populer juga sedikit dan lebih banyak merupakan pengulangan dari cerita-cerita yang pernah ada sebelumnya. Terakhir, karya sastra populer lebih menitikberatkan pada alur yang disusun sedemikian rupa sehingga muncullah alur kompleks dengan klimaks yang sesuai dengan apa yang dinantikan oleh para pembaca. Meskipun termarjinalkan dalam dunia kesusastraan, toh sastra populer tetap memiliki penggemarnya sendiri, yang tidak mau bersusah-susah dalam pemahaman mengenai sastra itu sendiri.

Arswendo Atmowiloto dalam novelnya Kau Memanggilku Malaikat, secara kasat mata menghadirkan unsur-unsur yang dapat menjadi indikasi sastra populer. Dari segi pengemasan, gambar pada sampul depan novel ini terpengaruh oleh pop kultur dengan gambar berbasis vektor dan permainan warna putih yang cukup menarik –berbeda dengan sampul depan karya-karya ‘sastra serius’ yang cenderung tidak menarik dan membosankan. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menarik perhatian dan minat para konsumen untuk membaca (atau paling tidak, membeli) novel ini. Penulisan nama penulis dengan huruf berukuran besar juga merupakan salah satu permainan pasar dan menjadi suatu komoditas, mengingat Arswendo adalah seseorang yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat umum di Indonesia.

Akan tetapi, dari segi isi, novel ini tidak terlalu terikat dengan unsur-unsur konvensional sastra populer yang dirumuskan oleh Ken Gelder. Novel ini, meskipun memiliki alur yang kurang kompleks, menggunakan bahasa yang mudah dicerna, sehingga tidak salah apabila novel ini ditujukan kepada masyarakat secara umum. Sebagai hipotesis, novel ini berada dalam grey area, yakni titik tengah antara sastra populer dan ‘sastra serius’.

/2/ Kau Memanggilku Malaikat: Populerkah Malaikat?


Apakah malaikat merasa?
Ah, tentu saja malaikat tak merasa,
aku tidak bisa
menjadi malaikat karena aku merasa
(Ode Untuk Kapal, Agung Dwi Ertato)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pemunculan stereotype terhadap suatu tokoh dalam suatu karya sastra merupakan salah satu indikasi dari sastra populer. Sastra populer pada umumnya tidak ingin menyulitkan pembacanya, termasuk dalam mengimajinasikan tokoh-tokoh yang muncul. Oleh karena itu, digunakanlah suatu acuan dalam penggambaran tokoh yang muncul, yang secara tidak langsung telah disepakati secara umum.

Dalam novel Kau Memanggilku Malaikat karya Arswendo Atmowiloto, dimunculkan suatu tokoh imajiner berupa malaikat yang dapat terlihat kala seseorang telah mendekati ajalnya. Penggambaran tokoh malaikat dalam karya ini cenderung sama dengan malaikat dalam cerita-cerita lain; berpakaian serba putih, bersayap yang berwarna putih pula, dan dapat melintasi ruang dan waktu.

Malaikat yang tidak disebutkan memiliki sebuah nama ini dapat berinteraksi dengan manusia beberapa saat sebelum manusia itu meninggal. Melalui interaksi inilah konflik batin muncul, misalnya saat ia harus menjemput seorang gadis kecil pulang ke haribaan-Nya dan ia melihat begitu banyak yang harus ditinggalkan gadis kecil ini; cinta kasih, rasa ingin tahu, kesedihan serta kesabaran –hal-hal yang tidak dapat dirasakan oleh malaikat sepertinya. Hingga pada suatu saat ia berharap bisa merasakan segala perasaan manusiawi.

Itulah sayap mereka yang masih akan terus membuat terbang, melayang, membayangkan apa saja. Kadang dengan duka, kadang dengan airmata.
Airmata, itulah sebenarnya sayap yang paling penuh makna.
Aku berharap memilikinya.
(Kau Memanggilku Malaikat, hlm. 271)

Dalam salah satu bagian novel ini, malaikat diceritakan menjemput Ife, seorang gadis belia, yang ditembak oleh seorang polisi ketika melawan saat diperkosa. Ia mengetahui segala tentang Ife, bagaimana Ife begitu dipuja di kampungnya dan banyak lelaki yang menaruh hati padanya, hingga suatu malam saat Ife harus mengakhiri usianya. Malaikat tahu apa yang dirasakan oleh Ife, segala rasa bahagia hidup di tengah keluarga dan teman-temannya dan rasa takut bercampur marah ketika diperkosa, namun ia tak bisa merasakannya. Malaikat menginsyafi segala rasa yang diketahuinya itu merupakan rasa yang amat manusiawi, tanpa bisa ia turut merasakan.

“Kenapa kau diam saja?”
“Aku menjemputmu, aku tak bisa menolongmu.”
“Yaaaaa, percuma saja. Kasihan Ibu… kasihan Adik… kasihan Bang Bondan… Yeaaah, kenapa semua lelaki ingin memekosa? Karena saya cantik? Karena saya nafsuin? Kan saya tidak salah apa-apa…”
(Kau Memanggilku Malaikat, hlm. 60)

Sebagai malaikat, ia paham betul dengan apa yang dialami oleh Ife, namun semua berubah setelah ia bertemu dengan Di, gadis kecil yang menurutnya sama sekali berbeda dengan jutaan manusia yang pernah ia jemput selama ini. Di adalah gadis kecil berusia hampir empat tahun. Ia hidup di tengah lingkungan yang serba kekurangan namun sangat cukup membuatnya bahagia dengan memberikan cinta kasih yang tulus; Bapak, Ibu, Nenek, serta Um yang selalu menyayanginya.

Di divonis menderita penyakit di paru-parunya, yang menyebabkan ia tak bisa bertahan hidup lama. Ketika sinyal kematian ditemukan oleh malaikat, Di berhasil membuat malaikat terkejut karena mengatakan bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya, saat Di berada di perut ibu. Padahal, malaikat tidak merasa pernah menjemput Di sebelumnya dan inilah yang membuat Di berbeda dengan manusia-manusia lain.

Di juga bisa tetap bermain-main di sekitar rumahnya, di dekat Bapaknya dan mengikuti Um pergi setelah ia meninggal –suatu hal yang sangat tidak biasa, yang seharusnya ia berada di dimensi lain bersama malaikat untuk menuju tahap kehidupan selanjutnya. Di berbeda dengan manusia lainnya, dan inilah yang menjadi konflik batin dalam diri malaikat. Sampai akhirnya saat Di harus benar-benar pergi –memasuki tahap kehidupan selanjutnya, ia merasa kehilangan.

Kini kutahu, atau kumerasa, bahwa aku yang mendampingi siapa pun, yang bergerak secara serentak dengan berbagai nyawa yang kujemput, juga menyisakan aku yang bisa sendiri, seperti sekarang.
Aku yang sendiri mencoba merasakan, bukan hanya mengerti, apa yang tak pernah kurasakan selama ini: cipratan lumpur kala gerimis, duka tapi bukan tangis, airmata, kangen.
Terutama yang pertama kali kurasakan.
Kehilangan.
(Kau Memanggilku Malaikat, hlm. 269)

Malaikat tidak memiliki kemampuan untuk merasa selayaknya manusia. Melalui berbagai peristiwa ‘penjemputan’ yang ia lakukan, malaikat menjadi semakin tahu betapa nikmat rasa itu, rasa yang membuat kita ada. Melalui perjumpaannya dengan Di, malaikat, yang cenderung tanpa rasa, untuk pertama kalinya merasa kehilangan –sesuatu yang sangat manusiawi.

Hal inilah yang menjadi konflik utama dalam novel ini. Konflik batin yang sangat sederhana, tidak berusaha membawa pembacanya pada alur-alur yang kompleks dan rumit, melainkan alur yang cenderung tanpa klimaks yang berarti. Dalam novel ini, ke-kompleks-an tidak terdapat dalam alur, melainkan dalam diri malaikat itu sendiri. Ini tentu saja kontradiktif dengan sifat karya populer yang cenderung menggemborkan alur yang begitu kompleks dengan klimaks yang, meski mudah ditebak, mampu mengejutkan para pembaca.

Dilihat dari segi bahasa, novel ini menggunakan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat secara umum, namun, apabila memang yang membaca adalah masyarakat awam yang kebutuhan akan hiburannya cukup tinggi, novel ini akan terasa amat membosankan. Jadi, dilihat dari segi isi, novel ini tidak bersifat populer. Kau Memanggilku Malaikat memang sarat menonjolkan unsur kepopulerannya melalui desain sampul, nama penulis yang ditulis dengan huruf besar dan embel-embel dari penulis bestseller, serta pemilihan bahasa yang cenderung mudah dicerna oleh siapa saja. Akan tetapi, dari segi alur novel ini tidak dapat mengelak jika disebut bukan sastra populer karena, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alur dalam novel ini tidak kompleks dan sederhana.

Arswendo rupanya ingin mengemas sesuatu yang tidak populer menjadi ‘terlihat populer’ dan berdaya jual di pasaran. Hal ini berkaitan dengan strategi pemasaran karya-karya ‘sastra serius’ yang selama ini kurang diminati karena gambar sampulnya tidak menarik. Strategi ini cukup bagus, mengingat pola pikir masyarakat yang menilai sebuah buku dari sampulnya. Dengan demikian, suka atau tidak suka, ‘sastra serius’ mampu menyaingi daya jual sastra populer di pasaran.

/3/ Simpulan

Novel Kau Memanggilku Malaikat karya Arswendo Atmowiloto, secara kasat mata terlihat sebagai karya sastra populer yang dapat memikat para pembaca. Hal ini dapat dilihat dari kemasannya yang menarik serta bahasa yang digunakan. Akan tetapi, setelah ditinjau dari segi alur, novel ini cenderung bersifat serius dan sama sekali tidak populer, hanya saja bahasa yang digunakan memang mudah dicerna.

Alur dalam novel ini cenderung antiklimaks, satu hal yang kontradiktif dengan alur yang terdapat dalam karya sastra populer. Untuk dikatakan sebagai sastra populer, novel ini akan dinilai terlalu membosankan dan jauh dari kesan menghibur, melainkan memaksa dengan halus para pembacanya sedikit berpikir mengenai konflik batin yang ada dalam diri tokoh-tokoh yang dimunculkan.

Kau Memanggilku Malaikat sebenarnya merupakan karya ‘sastra serius’ yang dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian konsumen untuk membaca novel ini. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana, novel ini berhasil ‘memainkan’ strategi pemasaran karya ‘sastra serius’ yang selama ini dianggap hanya ‘tersentuh’ oleh golongan-golongan tertentu.

Daftar Pustaka

Atmowiloto, Arswendo. 2009. Kau Memanggilku Malaikat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sastera Hindia Modern Sastera Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ertato, Agung Dwi (ed.). 2010. Jalan Pulang: Buku Puisi MarkasSastra dan PSA-MABIM FIB UI 2009. Depok: 28w Artlab.
Gelder, Ken. 2004. Popular Fiction: The Logics and Practices of Literary Fields. London dan New York: Routledge.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsif Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Apr 15, 2011

Kereta Api


Kereta api itu datang lagi ke dalam mimpi, berjalan tak tentu arah di atas rangkaian rel yang hampir tak terlihat.

Pohon pohon seakan berlari di luar jendela, mengejar apa yang takkan pernah terkejar.

Di dalam suasana begitu menyihir: aroma tembakau dan kopi, warna warna coklat dan kuning, pramusaji yang rupawan dengan gelas gelas tinggi yang tetap seimbang di atas kereta yang melaju.

Kereta berhenti di sebuah kota yang tak kukenal dan mempersilahkanku turun.

Pramusaji rupawan menyarankanku mencari sebuah penginapan. Anda perlu istirahat.

Kereta api kembali melaju meninggalkanku di kota asing ini: pesonanya tak pernah berkurang.

(Juni 2010)

Secangkir Coklat Panas dan Sebuah Gula-gula


aku sudah tidak tertarik dengan coklat hangat ini maaf aku tuang saja milikku ke cangkirmu
kau hanya tersenyum melihat tingkahku muak pada coklat biasanya kau suka sekali coklat
maafkan aku sayang aku terus menuang coklatku
coklat ini memang terlalu banyak untukmu katamu kau tidak sanggup meminum semuanya

cangkirmu telah penuh dengan coklatku namun aku membiarkannya hingga coklatpun meluap tumpah
membasahi meja berkayu cemara. kau tetap tersenyum melihat tingkahku
hati hati sayang. aku membiarkan semuanya tumpah ini lebih baik karena aku sudah tak mau coklat
kini di cangkirku kosong dan di cangkirmu meluap coklat yang berceceran di sana sini

aku ingin merasakan manis tapi bukan coklat aku pun mengeluarkan gula gula dari kantong celana
kau masih tersenyum melihat tingkahku itu gula gula yang sudah lama kau simpan di kantongmu
baru sekarang aku memakannya. manis namun habis dalam sekejap
saat kusadari coklat di cangkirmu telah dingin dan cecerannya mengering di meja berkayu cemara

cangkirku kosong dan cangkirmu penuh coklat yang kini sudah tak bisa lagi diminum
tentu saja aku terlalu sibuk dengan gula gula tadi
aku bisa mengisi cangkirmu dengan coklat hangat lagi agar bisa kauminum tawarmu
tapi aku tak mau tahu. yang kutahu saat ini hanyalah gula gula manis namun tak hangat

sudahlah sayang kau tidak pernah tidak tersenyum mari kutuang coklat lagi ke dalam cangkirmu
tapi aku ingin cangkirku tetap kosong. mengapa kau memaksaku?
yang membekas di diriku kini adalah gula gula tadi bukan coklat hangat
dengan siapa aku berbagi bibir? apa yang kau cari, cinta?

(mei 2010)

Gadis dan Sepeda Tua


Sepeda tua itu terus menemaninya kemanapun ia pergi: melintasi taman ketika gerimis menjemput magrib atau menyeberangi jembatan berundak yang memotong sungai kecil di belakang rumahnya.

Ia tak tahu apa yang membuatnya sangat dekat dengan sepeda tua itu. Sepeda tua begitu setia dengannya, atau sebaliknya ia yang setia dengan sepeda tua.

Mungkin sepeda itu dulu milik ayahnya atau kakeknya, tapi siapa peduli. Ia hanya tahu sepeda tua itu tepat untuknya. Kadang ia ingin mencoba bertanya pada karat yang pula setia soal usia sepeda tuanya, tapi apatah arti usia? Maka ia urungkan niatnya bertanya pada karat atau pada rantai yang sudah mulai cerewet atau pada per yang sudah mulai mencuat dari jok sepedanya; rindu bebas.

Suatu hari ia berjalan melintasi taman sendirian; tanpa sepeda tuanya. Pun pada hari hari berikutnya. Sepeda tua rupanya sudah tak mau menemaninya berjalan jalan, atau sebaliknya ia yang tak mau ditemani berjalan jalan oleh sepeda tua. Ia tidak tahu, ia hanya sudah terbiasa sendirian.

Maka ia berjalan kaki saja, sambil terkadang bersenandung diam diam, menyepak nyepak daun daun kering dengan sepatu bot hitamnya, terkadang pula mengingat perjalanannya yang lalu dengan sepeda tua itu.

Terkadang ia berpikir sepedanya dulu pastilah amat gagah dengan roda roda yang lincah dan pandai menukik, dan ia pun tersenyum diam diam. Waktu terus berganti, gumamnya.

Ia tidak ingin membeli sepeda baru, karena hanya sepeda tua itu yang tepat untuknya, meskipun kini sepeda tua sudah tak hendak dipakainya lagi. Ia tidak membenci sepeda tuanya, ia hanya berpikir inilah saatnya.

Di pojok teras belakang rumahnya sepeda tua itu tersandar, melepas lelah. Ia mungkin merindukan kayuhan si gadis melintasi taman ketika gerimis menjemput magrib atau menyebrangi jembatan yang memotong sungai kecil di belakang rumah. Namun memang benar, inilah saatnya.

(Juni 2010)

Loving Kit


We sell loving kit and other things you may need
We have hearts and lips;
eyes with tears which quiet cheap
We have a great sale on weekend
people comes and loves to bargain
We sell loving kit with special price
that’s why love is always nice

8 April 2011

Bebasari: Sebuah Intipan Nasionalisme di Tengah Ketatnya Kolonialisme



Letakkan kepercayaan di hatimu
Besok bumi merekah di tanganmu

(Gerimis, Sabar Anantaguna)

Berbicara mengenai kesusastraan Indonesia, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran suatu lembaga bernama Balai Pustaka (Balai Poestaka). Balai Pustaka dalam kesusastraan Indonesia memang banyak berperan, terutama dalam penyuntingan dan penerbitan yang terbukti hingga saat ini telah menerbitkan ribuan judul buku mulai dari literatur hingga buku pelajaran. Hal ini memang sesuai dengan tujuan awal didirikannya Balai Pustaka meskipun arahnya agak lain, yakni memberikan pendidikan serta hiburan kepada masyarakat.

Balai Pustaka sendiri merupakan lembaga bentukan kolonial Belanda yang pada saat itu tengah menjajah Indonesia. Dengan adanya gerakan “politik etis” yang digagas oleh Douwess Dekker yang berdampak pada munculnya sekolah-sekolah di negeri ini, lahirlah generasi-generasi melek huruf yang semakin haus akan bacaan. Bersamaan dengan itu, berkembanglah sastra Melayu Tionghoa yang ditulis oleh kaum Cina peranakan yang pada saat itu dianggap ‘picisan’ dan isinya hanya seputar kisah cinta muda-mudi.

Gerakan bersastra tidak hanya muncul dari kaum Cina peranakan yang pada saat itu memang memerlukan bacaan, namun juga dari kaum bumiputera yang sudah mulai mampu berpikir dan menyadari ketidakadilan kolonialisme yang ada. Hal ini tentu saja menjadi suatu keresahan bagi pihak kolonial karena gerakan-gerakan tersebut dikhawatirkan akan menumbuhkan rasa nasionalisme kaum pribumi.

Maka pada tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan Commisie vor de Inlandsche School en Volkslectuur atau “Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat”. Tugas komisi tersebut adalah menyediakan bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuan menurut tertib dunia, dan menjauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri, yang dalam hal ini adalah memerangi bacaan liar yang banyak beredar pada awal abad ke-20 dan juga untuk memerangi penyebaran ideologi tertentu, yaitu dengan menyediakan bacaan ringan yang sehat untuk lulusan sekolah rendah.

Komisi tersebut memang menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan yang bersifat kedaerahan, antara lain dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu. Hal ini dilakukan bukan tanpa tujuan, melainkan agar tidak timbul adanya rasa persatuan antara kaum pribumi dari tiap daerah. Seiring berjalannya waktu, tugas komisi tersebut dianggap terlalu banyak sehingga pemerintah kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yang diberi nama Balai Pustaka pada tahun 1917.

Balai Pustaka memiliki tekad untuk menghadirkan buku atau bacaan yang bermutu tinggi yang dapat membangun moral bangsa karena bacaan-bacaan liar, seperti sastra Cina peranakan dan pers bumiputera yang radikal. Di Balai Pustaka tulisan-tulisan disensor sehingga bacaan yang tidak mengganggu kedudukan pemerintah Belanda itulah yang dapat dimuat. Sebaliknya, bacaan-bacaan yang bersifat mengancam kedudukan pemerintah kolonial tidak lolos sensor dan tidak dapat diterbitkan.

Balai Pustaka memiliki ‘standar’ tersendiri dalam penerbitan buku-bukunya, begitu pula dengan bahasa yang digunakan. Pada saat itu hampir semua buku yang sifatnya baru diterbitkan menggunakan bahasa Melayu. Sebagai contohnya, dapat kita lihat kesamaan bahasa pada buku-buku masa Balai Pustaka seperti Salah Asuhan (Abdul Muis), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), dan sederet roman yang diterbitkan pada masa itu.

Selain sensor terhadap cerita yang bersifat nasionalis dan bahasa yang digunakan, Balai Pustaka juga berhak atas penyuntingan tokoh dan tema. Menurut Sumardjo (dalam Yudiono, 2006), roman Balai Pustaka memiliki ciri umum antara lain bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah tertentu, bersifat romantik-sentimental, karena banyak roman yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami suatu penderitaan yang teramat, bergaya bahasa seragam sehingga tidak berkembang gaya bahasa perorangan, dan bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempermasalahkan masalah politik, agama, dan lain sebagainya.

Di tengah keketatan itulah, pada tahun 1928 Roestam Effendi berhasil merampungkan naskah drama berjudul Bebasari dan diterbitkan melalui Balai Pustaka. Secara keseluruhan, sebenarnya tidak ada yang mencolok pada drama tersebut. Bebasari mengisahkan perjuangan Budjangga menyelamatkan Bebasari yang ditawan oleh Rahwana. Kisah ini mirip dengan kisah Ramayana yang juga mengisahkan penculikan Rahwana terhadap Sinta yang kemudian diselamatkan oleh Rama. Ramayana sendiri pada saat itu telah menjadi cerita wajar yang telah dikenal masyarakat secara luas melalui tokoh pewayangan. Oleh sebab itu editor Balai Pustaka serta merta meloloskan drama ini untuk disebarluaskan kepada masyarakat.

Akan tetapi apabila diperhatikan lebih cermat, Bebasari sebenarnya bukan sekadar cerita adaptasi Ramayana belaka, melainkan sebuah paradoks atas keadaan yang menimpa tanah air pada masa itu. Bebasari yang berasal dari kata bebas, merupakan analogi dari tanah air yang menunggu dibebaskan oleh Budjangga yang tak lain berasal dari kata bujangan yang memiliki arti belum pernah memiliki istri yang dalam hal ini adalah kemerdekaan. Sedangkan Rahwana sendiri merupakan penjelmaan dari pemerintah kolonial yang merebut kebebasan dari bujangan tersebut.

Meskipun pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh drama ini terlihat sederhana dan tidak semua golongan mampu menangkap pesan tersebut, namun sudah cukup menunjukkan adanya nasionalisme dalam kesusastraan Indonesia pada masa itu. Roestam Effendi sebagai pengarang, menangkap adanya realita yang tengah terjadi dan menyampaikannya melalui karya sastra untuk disampaikan kepada para pembaca. Melalui drama ini Roestam Effendi berusaha menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada bumi pertiwi dan mengharapkan adanya suatu gerakan dari kaum pribumi untuk memberontak dari rezim kolonialisme.

Menyinggung perihal nasionalisme, sebenarnya pada tahun yang sama Bebasari diterbitkan, muncul hasrat persatuan di kalangan pemuda yang diutarakan pada Kongres Pemuda tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.


Dari sinilah, meskipun masih dalam masa penjajahan Belanda, sudah terlihat adanya kesadaran nasional khususnya dari kaum pemuda Indonesia. Berbeda dengan Bebasari yang bergerilya melawan kolonialisme, Sumpah Pemuda secara gamblang menyerukan adanya tindak perlawanan dan rasa nasionalisme yang muncul di kalangan mereka.

Terlepas dari itu, sikap Bebasari yang diam-diam juga tidak dapat disalahkan karena gerakan nasionalisme selain ditunjukkan secara lisan juga dapat ditunjukkan melalui tulisan dan satu-satunya cara agar tulisan tersebut dapat terpublikasikan hanyalah dengan memainkan analogi yang telah dibahas sebelumnya.

Lolosnya Bebasari dari sensor Balai Pustaka selain menimbulkan kebanggaan atas kecerdikan kaum pribumi juga menimbulkan suatu pertanyaan bagi kredibilitas penyuntingan Balai Pustaka. Apabila memang Bebasari diloloskan karena dianggap tidak mengancam eksistensi kolonialisme pada masa itu dan hanya sekadar saduran dari Ramayana belaka, apakah mungkin seorang penulis menyadur suatu kisah yang konon versi aslinya merupakan puisi terpanjang yang pernah ada menjadi sebuah drama singkat sepanjang 59 halaman tanpa maksud tertentu?

Tentunya pada masa itu yang dipikirkan untuk harus dilakukan oleh para penyunting Balai Pustaka adalah menyunting bacaan apapun yang terang-terangan berbau nasionalisme. Di tengah banyaknya buku-buku yang menanti untuk disunting diterbitkan Balai Pustaka, sebuah lakon Bebasari yang sebetulnya penuh dengan analogi dirasa sudah cukup memenuhi syarat dengan tidak menyinggung apapun mengenai kolonialisme maupun nasionalisme.

Kita juga tidak tahu apakah ada permainan di balik lolosnya Bebasari apabila memang dalam drama tersebut disadari adanya analogi-analogi yang menyindir keadaan zaman, mengingat penyunting Balai Pustaka pada waktu itu juga adalah kaum pribumi, lebih tepatnya Nur Sutan Iskandar. Yang jelas, kehadiran Bebasari pada masa itu, entah disadari atau tidak, telah menjadi sumbangan bagi gerakan nasionalisme pada masa penjajahan Belanda.

Perjuangan yang ditempuh bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan memang tidak mudah. Hal ini dapat dilihat dari drama Bebasari yang harus menggunakan analogi untuk menyampaikan rasa memiliki atas negeri yang sebenarnya sudah dimiliki. Sastra memang tak lepas dari apa yang disebut dengan perjuangan, sebaliknya, perjuangan selain dilakukan dengan cara anarki juga dapat dilakukan dengan cara bersastra. Maka tak salah jika dikatakan bahwa sastra juga berperan dalam membangun rasa nasionalisme untuk meraih kemerdekaan yang telah lama dinantikan.

Kakanda, dari zaman berganti zaman.
Tatap hatiku menanti tuan.
Kakanda bakal membawa merdeka.
Sebab tjintamu kepada loka.

(Bebasari, hlm. 59)

Saman: Dan Luapan Hasrat Itu pun Menjadi Sebuah Kanon




apa yang akan menghiasi
wajah sastra kita
setelah seksualitas
dan homoseksualitas
menjadi komoditas

(Seks Siti Jenar, Asep Sambodja)

Sekitar satu dekade yang lalu, dunia sastra Indonesia dihebohkan dengan gebrakan para penulis wanita melalui tulisan-tulisannya yang kemudian sering disebut dengan istilah sastra wangi. Istilah sastra wangi sendiri sebenarnya merupakan sebuah label yang diberikan para sastrawan pria kepada wanita-wanita tersebut yang, meskipun asosiasinya kurang baik, mengacu kepada tulisan-tulisan mereka yang dianggap provokatif.

Alasan tersebut dirasa cukup masuk akal, karena tulisan-tulisan yang mereka hasilkan mampu meretas batas apa yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan, sekali pun dalam sebuah karya sastra. Seperti yang pernah dikatakan Saut Situmorang dalam Politik Kanonisasi Sastra 3, sastra wangi banyak mengangkat seksualitas yang dijadikan isu nomor satu para perempuan muda urban Indonesia.

Seks memang menjadi unsur yang paling dominan dalam sastra wangi. Meskipun pada tahun 70-an Motinggo Boesye dan beberapa penulis lainnya sempat memberi unsur seks dalam tulisannya, namun tidak sevulgar sastra wangi yang berani mencapai daerah-daerah yang sangat intim. Hal inilah yang menjadikan karya sastra wangi terlihat berbeda dengan karya-karya penulis wanita lainnya semisal Nh. Dini, Mira W., atau S. Mara Gd.

Adalah Saman (1998) karya Ayu Utami yang dapat dikatakan sebagai pionir dalam lahirnya sastra wangi di Indonesia. Novel yang memenangkan Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 ini berbicara mengenai seks, cinta, politik, dan agama serta perasaan-perasaan yang saling bertaut antartokoh tanpa adanya beban dan bebas sebebas-bebasnya.

Saman bercerita tentang persahabatan empat wanita; Shakuntala, Cok, Yasmin dan Laila yang, dua di antaranya, menyimpan rasa kagum pada seorang pria bernama Saman. Secara keseluruhan alur yang disajikan novel ini cukup ringan, akan tetapi permasalahan-permasalahan yang muncul dijelaskan dengan kompleks dan blak-blakan. Unsur seks yang menonjol dan dijelaskan tanpa malu-malu menjadi daya pikat tersendiri dari Saman, misalnya yang terdapat pada kutipan di bawah ini:

Saman,
Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
(Saman, 196)

Sebuah pernyataan jujur yang mencengangkan! Bahkan ejakulasi pun disulap menjadi hal wajar yang layak dikonsumsi oleh publik. Hal ini membuat Saman terlihat outstanding di antara karya-karya lainnya. Maka tak heran, tak lama setelah kemunculan Saman, muncul sederet karya sastra sejenis lainnya dari para penulis wanita. Sebut saja Dewi “Dee” Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki hingga Happy Salma yang turut menyumbangkan karya-karya berbau seks yang seakan-akan ingin menunjukkan inilah sisi liar dari seorang wanita. Dan Saman pun menjadi sebuah kanon.

Berbicara mengenai Saman dan sastra wangi, tidak dapat dilepaskan dari aliran feminis yang sebenarnya (tentu saja) telah lahir jauh sebelum Saman sendiri terbit. Feminisme lahir di Amerika pada tahun 1848 dalam Women’s Great Rebellion yang menghasilkan sebuah jargon: “all men and women are created equal!”. Dari sinilah paham feminis menyebar ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, emansipasi terhadap wanita lahir sejak pemberontakan yang dipelopori oleh R. A. Kartini.

Dalam aliran feminisme wanita mencoba memberontak budaya patriarki yang berlaku dan menunjukkan kepada kaum adam bahwa dirinya juga mampu bergerak secara independen. Patriarki merupakan sistem di mana seorang wanita kedudukannya selalu di bawah pria dan pria berhak mengatur sepenuhnya atas apa pun yang terjadi termasuk yang menyangkut kehidupan wanita tersebut. Sistem tersebut berlangsung secara turun temurun dan tidak diketahui jelas kapan pastinya sistem tersebut muncul. Akan tetapi, dalam praktiknya, wanita selalu tidak bisa melawan budaya tersebut, khususnya pada masa sebelum tuntutan atas kesetaraan gender muncul.

Paska isu emansipasi merebak, para wanita mulai berani melakukan pembuktian diri, tak terkecuali dalam dunia sastra. Dari karya-karya mereka dapat dilihat ada hasrat dan cita-cita disimpan di dalamnya, misalnya pada La Barka dan Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini yang memiliki inti yang sama: keinginan. Karya-karya tersebut menunjukkan hasrat seorang wanita untuk dapat melakukan sesuatu yang dianggap tabu untuk dilakukan namun mereka sendiri sangat ingin melakukannya.

Pada Saman terjadi hal yang sama, namun hasrat yang diungkapkan di sini bukan lagi sekadar cita-cita seperti yang ditunjukkan karya-karya Nh. Dini. Hal ini wajar terjadi, karena ketika Saman lahir, isu kesetaraan gender telah menjadi kompleks dan wanita urban –seperti Ayu Utami – dengan kehidupan metroseksualnya, tidak lagi bercita-cita belajar di luar negeri, karena hal itu saat ini sudah menjadi wajar. Oleh karena itu, para wanita urban beralih ke hasrat lain yang tak ada matinya, yaitu cinta dan seks yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karya sastra. Sesuai dengan pendapat Jung dan Freud, karya seni adalah bentuk lain dari penyaluran cinta dan keinginan seks.

Melalui karya-karyanya, para penulis sastra wangi mencoba menunjukkan bahwa wanita tidak hanya sebagai objek pemuas nafsu belaka, melainkan juga sebagai subjek. Unsur-unsur seks yang sengaja ditonjolkan dan terkesan provokatif seperti yang ada pada kutipan Saman sebelumnya mempertegas bahwa wanita juga bisa berinisiatif dan cenderung menghindari masokhisme atau kepasifan. Hal inilah yang yang menurut Deutcsh, merupakan agresivitas yang ada di pada unsur psike setiap wanita.

Seiring dengan berkembangnya zaman yang menuntut adanya penyegaran dalam berbagai bidang, Ayu Utami mencoba memberikan penyegaran tersebut dengan membicarakan seks yang selama ini dianggap tabu untuk dijelaskan secara gamblang. Tak dapat dipungkiri, membaca sesuatu yang berbau seks dapat menjadi hiburan tersendiri baik bagi pria maupun wanita. Saman pun berhasil menyita perhatian dunia sastra Indonesia pada masa itu.

Setelah keberhasilan Saman, muncul berbagai penulis wanita dengan karya-karyanya yang juga mengangkat seks sebagai tema utama mengatasnamakan feminisme. Saman telah menjadi sumber ide bagi penulis-penulis wanita lain untuk menulis sebuah karya yang memiliki kekuatan pada unsur seksualnya. Lucunya, kebanyakan dari mereka sepertinya tidak hanya mengandalkan karya sastra yang mereka hasilkan, tapi juga penampilan fisik mereka sebagai wanita metroseksual yang menunjang keberhasilan karya mereka. Penulis-penulis tersebut tidak hanya berasal dari dunia sastra maupun jurnalistik, tetapi juga dari dunia perfilman dan model. Sayangnya, hal ini semakin mempertegas kesan hanya ikut-ikutan dan bahwa mereka sebenarnya tidak menjual karya, melainkan fisik belaka.
Lebih buruknya lagi, sastra wangi sempat dituding melakukan tindak kapitalisme di dalam dunia sastra. Jadi merebaknya sastra wangi bukan merupakan sebuah pembaruan di dalam dunia sastra, melainkan semata-mata untuk mengejar permintaan pasar. Hal ini tentu saja menimbulkan kekecewaan yang teramat dalam bagi dunia sastra Indonesia.

Maka sastra Indonesia pada masa itu dipenuhi dengan luapan hasrat seksual di mana-mana dan penulis-penulis wanita yang semuanya cantik. Sastra wangi pun menjadi sebuah fenomena dalam dunia sastra. Sayangnya, kejayaan sastra wangi tidak bertahan lama. Hingga saat ini masih belum ditemukan lagi karya baru dari penulis cantik yang mengandalkan hiperboria seksual.

Bagaimanapun, Saman memang telah menjadi kanon dalam munculnya sastra wangi di Indonesia. Kemunculannya yang membawa warna tersendiri semakin memperkaya khasanah sastra Indonesia dan membawa sastra Indonesia kepada suatu perubahan: keberanian bersuara dan menerobosan terhadap apa yang selama ini dianggap tabu.

Melalui Saman dan karya-karya sejenis lainnya juga kita dapat mengetahui keadaan perkembangan sastra Indonesia, sesuai dengan dalil Goenawan Mohamad “…selama keintiman dengan khalayak belum pulih kembali dalam diri seorang pengarang, selama hubungan antara kesusastraan dengan masyarakatnya masih belum tenteram, selama kesusastraan masih belum bebas dari sikapnya yang self-conscious dan kikuk, selama itu pula banyak hal takut untuk dibicarakan atau sebaliknya terlalu keras diteriakkan –termasuk seks.

“Pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya,
kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal.”
(Testimoni Ignas Kleden dalam Saman)