Apr 15, 2011

Bebasari: Sebuah Intipan Nasionalisme di Tengah Ketatnya Kolonialisme



Letakkan kepercayaan di hatimu
Besok bumi merekah di tanganmu

(Gerimis, Sabar Anantaguna)

Berbicara mengenai kesusastraan Indonesia, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran suatu lembaga bernama Balai Pustaka (Balai Poestaka). Balai Pustaka dalam kesusastraan Indonesia memang banyak berperan, terutama dalam penyuntingan dan penerbitan yang terbukti hingga saat ini telah menerbitkan ribuan judul buku mulai dari literatur hingga buku pelajaran. Hal ini memang sesuai dengan tujuan awal didirikannya Balai Pustaka meskipun arahnya agak lain, yakni memberikan pendidikan serta hiburan kepada masyarakat.

Balai Pustaka sendiri merupakan lembaga bentukan kolonial Belanda yang pada saat itu tengah menjajah Indonesia. Dengan adanya gerakan “politik etis” yang digagas oleh Douwess Dekker yang berdampak pada munculnya sekolah-sekolah di negeri ini, lahirlah generasi-generasi melek huruf yang semakin haus akan bacaan. Bersamaan dengan itu, berkembanglah sastra Melayu Tionghoa yang ditulis oleh kaum Cina peranakan yang pada saat itu dianggap ‘picisan’ dan isinya hanya seputar kisah cinta muda-mudi.

Gerakan bersastra tidak hanya muncul dari kaum Cina peranakan yang pada saat itu memang memerlukan bacaan, namun juga dari kaum bumiputera yang sudah mulai mampu berpikir dan menyadari ketidakadilan kolonialisme yang ada. Hal ini tentu saja menjadi suatu keresahan bagi pihak kolonial karena gerakan-gerakan tersebut dikhawatirkan akan menumbuhkan rasa nasionalisme kaum pribumi.

Maka pada tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan Commisie vor de Inlandsche School en Volkslectuur atau “Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat”. Tugas komisi tersebut adalah menyediakan bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuan menurut tertib dunia, dan menjauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri, yang dalam hal ini adalah memerangi bacaan liar yang banyak beredar pada awal abad ke-20 dan juga untuk memerangi penyebaran ideologi tertentu, yaitu dengan menyediakan bacaan ringan yang sehat untuk lulusan sekolah rendah.

Komisi tersebut memang menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan yang bersifat kedaerahan, antara lain dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu. Hal ini dilakukan bukan tanpa tujuan, melainkan agar tidak timbul adanya rasa persatuan antara kaum pribumi dari tiap daerah. Seiring berjalannya waktu, tugas komisi tersebut dianggap terlalu banyak sehingga pemerintah kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yang diberi nama Balai Pustaka pada tahun 1917.

Balai Pustaka memiliki tekad untuk menghadirkan buku atau bacaan yang bermutu tinggi yang dapat membangun moral bangsa karena bacaan-bacaan liar, seperti sastra Cina peranakan dan pers bumiputera yang radikal. Di Balai Pustaka tulisan-tulisan disensor sehingga bacaan yang tidak mengganggu kedudukan pemerintah Belanda itulah yang dapat dimuat. Sebaliknya, bacaan-bacaan yang bersifat mengancam kedudukan pemerintah kolonial tidak lolos sensor dan tidak dapat diterbitkan.

Balai Pustaka memiliki ‘standar’ tersendiri dalam penerbitan buku-bukunya, begitu pula dengan bahasa yang digunakan. Pada saat itu hampir semua buku yang sifatnya baru diterbitkan menggunakan bahasa Melayu. Sebagai contohnya, dapat kita lihat kesamaan bahasa pada buku-buku masa Balai Pustaka seperti Salah Asuhan (Abdul Muis), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), dan sederet roman yang diterbitkan pada masa itu.

Selain sensor terhadap cerita yang bersifat nasionalis dan bahasa yang digunakan, Balai Pustaka juga berhak atas penyuntingan tokoh dan tema. Menurut Sumardjo (dalam Yudiono, 2006), roman Balai Pustaka memiliki ciri umum antara lain bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah tertentu, bersifat romantik-sentimental, karena banyak roman yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami suatu penderitaan yang teramat, bergaya bahasa seragam sehingga tidak berkembang gaya bahasa perorangan, dan bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempermasalahkan masalah politik, agama, dan lain sebagainya.

Di tengah keketatan itulah, pada tahun 1928 Roestam Effendi berhasil merampungkan naskah drama berjudul Bebasari dan diterbitkan melalui Balai Pustaka. Secara keseluruhan, sebenarnya tidak ada yang mencolok pada drama tersebut. Bebasari mengisahkan perjuangan Budjangga menyelamatkan Bebasari yang ditawan oleh Rahwana. Kisah ini mirip dengan kisah Ramayana yang juga mengisahkan penculikan Rahwana terhadap Sinta yang kemudian diselamatkan oleh Rama. Ramayana sendiri pada saat itu telah menjadi cerita wajar yang telah dikenal masyarakat secara luas melalui tokoh pewayangan. Oleh sebab itu editor Balai Pustaka serta merta meloloskan drama ini untuk disebarluaskan kepada masyarakat.

Akan tetapi apabila diperhatikan lebih cermat, Bebasari sebenarnya bukan sekadar cerita adaptasi Ramayana belaka, melainkan sebuah paradoks atas keadaan yang menimpa tanah air pada masa itu. Bebasari yang berasal dari kata bebas, merupakan analogi dari tanah air yang menunggu dibebaskan oleh Budjangga yang tak lain berasal dari kata bujangan yang memiliki arti belum pernah memiliki istri yang dalam hal ini adalah kemerdekaan. Sedangkan Rahwana sendiri merupakan penjelmaan dari pemerintah kolonial yang merebut kebebasan dari bujangan tersebut.

Meskipun pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh drama ini terlihat sederhana dan tidak semua golongan mampu menangkap pesan tersebut, namun sudah cukup menunjukkan adanya nasionalisme dalam kesusastraan Indonesia pada masa itu. Roestam Effendi sebagai pengarang, menangkap adanya realita yang tengah terjadi dan menyampaikannya melalui karya sastra untuk disampaikan kepada para pembaca. Melalui drama ini Roestam Effendi berusaha menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada bumi pertiwi dan mengharapkan adanya suatu gerakan dari kaum pribumi untuk memberontak dari rezim kolonialisme.

Menyinggung perihal nasionalisme, sebenarnya pada tahun yang sama Bebasari diterbitkan, muncul hasrat persatuan di kalangan pemuda yang diutarakan pada Kongres Pemuda tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.


Dari sinilah, meskipun masih dalam masa penjajahan Belanda, sudah terlihat adanya kesadaran nasional khususnya dari kaum pemuda Indonesia. Berbeda dengan Bebasari yang bergerilya melawan kolonialisme, Sumpah Pemuda secara gamblang menyerukan adanya tindak perlawanan dan rasa nasionalisme yang muncul di kalangan mereka.

Terlepas dari itu, sikap Bebasari yang diam-diam juga tidak dapat disalahkan karena gerakan nasionalisme selain ditunjukkan secara lisan juga dapat ditunjukkan melalui tulisan dan satu-satunya cara agar tulisan tersebut dapat terpublikasikan hanyalah dengan memainkan analogi yang telah dibahas sebelumnya.

Lolosnya Bebasari dari sensor Balai Pustaka selain menimbulkan kebanggaan atas kecerdikan kaum pribumi juga menimbulkan suatu pertanyaan bagi kredibilitas penyuntingan Balai Pustaka. Apabila memang Bebasari diloloskan karena dianggap tidak mengancam eksistensi kolonialisme pada masa itu dan hanya sekadar saduran dari Ramayana belaka, apakah mungkin seorang penulis menyadur suatu kisah yang konon versi aslinya merupakan puisi terpanjang yang pernah ada menjadi sebuah drama singkat sepanjang 59 halaman tanpa maksud tertentu?

Tentunya pada masa itu yang dipikirkan untuk harus dilakukan oleh para penyunting Balai Pustaka adalah menyunting bacaan apapun yang terang-terangan berbau nasionalisme. Di tengah banyaknya buku-buku yang menanti untuk disunting diterbitkan Balai Pustaka, sebuah lakon Bebasari yang sebetulnya penuh dengan analogi dirasa sudah cukup memenuhi syarat dengan tidak menyinggung apapun mengenai kolonialisme maupun nasionalisme.

Kita juga tidak tahu apakah ada permainan di balik lolosnya Bebasari apabila memang dalam drama tersebut disadari adanya analogi-analogi yang menyindir keadaan zaman, mengingat penyunting Balai Pustaka pada waktu itu juga adalah kaum pribumi, lebih tepatnya Nur Sutan Iskandar. Yang jelas, kehadiran Bebasari pada masa itu, entah disadari atau tidak, telah menjadi sumbangan bagi gerakan nasionalisme pada masa penjajahan Belanda.

Perjuangan yang ditempuh bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan memang tidak mudah. Hal ini dapat dilihat dari drama Bebasari yang harus menggunakan analogi untuk menyampaikan rasa memiliki atas negeri yang sebenarnya sudah dimiliki. Sastra memang tak lepas dari apa yang disebut dengan perjuangan, sebaliknya, perjuangan selain dilakukan dengan cara anarki juga dapat dilakukan dengan cara bersastra. Maka tak salah jika dikatakan bahwa sastra juga berperan dalam membangun rasa nasionalisme untuk meraih kemerdekaan yang telah lama dinantikan.

Kakanda, dari zaman berganti zaman.
Tatap hatiku menanti tuan.
Kakanda bakal membawa merdeka.
Sebab tjintamu kepada loka.

(Bebasari, hlm. 59)

1 comment:

yayan said...

hebat sga (: bagus2 tulisannya hehe