Jun 24, 2011

Anggi


Adikku yang satu itu memang gemar memberi kejutan. Di antara kami bertiga; aku, ia, dan Randa, ialah yang paling bisa mengubah hal-hal kecil menjadi sangat bermakna.

Misalnya, ketika pertama kalinya tulisanku dimuat di koran mingguan, ialah yang sibuk menggunting-gunting artikel sederhana itu dan membingkainya, memajangnya tepat di atas meja di ruang tamu tanpa sepengetahuanku. Ia juga pernah membuat Randa tercekat ketika ia menangis di pojok dapur karena gagal membuat tiramisu kesukaan Randa yang –tadinya, akan dijadikan kejutan saat Randa lulus sekolah menengah tahun lalu. Juga setiap salah satu dari keluarga kami ulang tahun, kejutan-kejutan darinya seakan tak pernah berhenti. Mungkin karena ia adalah satu-satunya anak perempuan, atau entahlah, yang membuat ia merasa bertanggung jawab meramaikan suasana rumah kami. Maka tak heran jika ayah dan ibu sangat sayang padanya, sangat bangga padanya.

Adikku yang satu itu memang gemar memberi kejutan, bahkan pada saat kematiannya. Pagi ini, ayah menerima telepon dari rumah sakit. Adikku kecelakaan, katanya. Sebuah mobil yang melaju kencang menghempasnya ketika ia menyeberang jalan. Ia meninggal saat itu juga, kaki dan tangannya patah, tengkoraknya retak. Tabrak lari. Mengenaskan sekali, adikku yang manis itu, yang selalu membuat orang di sekitarnya bahagia, harus menutup usianya karena tabrak lari. Ayah sesak napas, airmatanya mengalir. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat ayah menangis, bahkan ketika kakek meninggal pun ayah tak menangis. Hal yang lebih buruk terjadi pada ibu. Ibu pingsan, tapi aku sangat dapat memahaminya.

Seisi rumah tiba-tiba sibuk; pembantu kami berusaha membangunkan ibu dengan memijit-mijitnya dan mengoleskan minyak angin di bawah hidungya, sedang aku sibuk menenangkan ayah sambil melawan emosiku sendiri untuk tidak ikut menangis. Saat itu Randa sudah berada di kampus. Sambil mengusap-usap punggung ayah, aku mencoba menghubungi Randa. Sesuai dugaan, Randa tak mengatakan sepatah kata pun ketika mendengar kabar dariku. Sambungan telepon diputus.

Kejutan yang sangat hebat, Anggi… Kurang dari tiga jam yang lalu, kami berlima masih berkumpul di ruang makan. Sarapan, seperti biasanya. Ibu membuat telur dadar dan nasi goreng, sambil terus-menerus mengingatkan Randa agar tidak terlalu banyak minum kopi. Ayah sibuk dengan kacamata yang baru dibelinya kemarin, mengelap dan mengelapnya kembali sampai menjadi sangat mengilap, hingga ibu menegurnya karena ayah tak juga memakan nasi goreng yang sudah ada di hadapannya. Sementara itu, Anggi dengan mulut yang masih penuh mengeluh pada ibu karena nasinya terlalu pedas. Tak ada yang lain pagi itu, semua sama seperti biasanya. Bahkan Anggi sendiri pun mungkin tak tahu jika pagi ini juga ia akan bertemu malaikat.


***


Mil, Anggi udah pulang, belum?, tiba-tiba ayah menutup Qur’annya dan bertanya padaku, di tengah pengajian yang sedang berlangsung.

Aku menarik napas panjang. Yah, Anggi udah tenang, Yah…

Masya Allah Mil, ini udah malem lho. Kamu atau Randa, jemput Anggi, sana.

Aku meneruskan membaca Yaasin, sengaja tak menghiraukan ucapan ayah, karena aku tahu penjelasanku akan semakin melukai hatinya. Di sebelahku, Randa tak banyak bicara. Ia bahkan tak ikut membaca Yaasin, tangan kanannya menggenggam Qur’an, sedangkan tangan kirinya sibuk menyeka bulir airmata yang tak sempat merembes ke pipi. Malam itu, rumah kami sesak oleh keluarga, tetangga, serta kerabat. Jarang sekali rumah kami seramai ini, mungkin terakhir kali ketika khitanan Randa belasan tahun silam. Semua berkumpul, bahkan tanpa rencana. Tentu saja, siapa yang bisa merencanakan kematian?

Aku melihat sekelilingku, ramai, tapi hampa. Puluhan orang kusyuk membaca doa-doa; memohon keselamatan Anggi di alam sana, memohon supaya Anggi senantiasa bahagia. Anggi pasti bahagia. Seperti yang pernah kubaca dalam sebuah cerita, kematian adalah sesuatu yang bahagia, sehingga tak selayaknya ditangisi. Tapi benarkah demikian? Mungkin kematian memang membahagiakan, untuk yang meninggal, bukan yang ditinggal. Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan membaca ayat berikutnya. Sementara itu, di rumah bagian belakang, nenek dan yang lainnya sibuk menata air mineral dan makanan kecil untuk para tamu dengan wajah yang masih sembap, sambil sesekali mengusap airmata tuanya, mencoba terlihat tegar.

Seharusnya malam ini aku dan Anggi duduk-duduk di ruang tengah. Karena ini malam Sabtu, kami akan menonton film serial kesukaan kami bersama, sambil membolak-balik majalah atau mengutak-atik telepon genggam dan menunggu Randa pulang. Hampir tiap hari Randa pulang malam. Alasannya beragam; mulai dari sibuk mengerjakan tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya, bermain futsal, hingga entahlah hal apa yang dilakukan remaja seusianya. Malam ini Randa tak ke mana-mana, hanya duduk bersila di pojok ruangan, masih belum membuka Qur’annya.

Emil, ada yang nyari kamu.


***


Usiaku dan Anggi hanya terpaut dua tahun. Sejak kecil, kami bertiga selalu belajar di sekolah yang sama, tumbuh bersama dengan cerita-cerita yang kami bagi bersama. Tidak ada yang tidak aku ketahui dari Anggi, juga rahasia-rahasia masa remajanya yang tak mungkin ia sampaikan ke Ayah atau Ibu. Aku selalu melindunginya, misalnya saat ia mencoba pergi ke diskotik bersama beberapa temannya, saat ia diskors karena ketahuan merokok di kamar mandi sekolah, atau saat ia tak lulus dalam beberapa mata kuliah di semester awal; kenakalan-kenakalan remaja yang masih wajar dan tidak terlalu kelewat batas. Sebagai kakak, aku selalu mencoba menutupinya, hingga kadang aku harus berpura-pura dan berbohong pada Ayah dan Ibu, untuk melindunginya.

Emil, ada yang nyari…

Mungkin seharusnya aku tak usah menemuinya. Tidak hanya malam ini, tapi juga hari-hari berikutnya, mungkin seharusnya aku tak perlu menemuinya. Tapi lelaki yang kukenal sebagai kekasih Anggi itu telah berdiri di hadapanku, dengan wajah dan airmata yang tak terjelaskan. Lagi-lagi sebuah kejutan. Kini aku harus berpura-pura tidak mengetahui bahwa Anggi meninggal bukan hanya karena tabrak lari.



22 Juni 2011

5 comments:

arga said...

jujur ga, gw suka sama cerita lo yang ini. gokil. sadis. the best deh kayak lo :)

dymussaga miraviori said...

makasim..sesadis seven eleven mampang ya,ga :D

ahmad amrullah sudiarto said...

wow..
i like this :)

dymussaga miraviori said...

terima kasih, ullah :)

ahmad amrullah sudiarto said...

sama-sama, agga :)