Jun 12, 2011

Ketika Kuriositas menjadi Komoditas; Prosa Chekhov dan Veven S. P. dalam Kajian Sastra Bandingan


/1/
Sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Dalam sastra bandingan, kita membandingkan unsur-unsur yang terdapat dalam dua karya sastra yang dijadikan sebagai objek, misalnya unsur psikologis, sosial, hukum, atau unsur-unsur lainnya. Ada dua mashab dalam sastra bandingan, yang pertama adalah mashab Prancis yang mengharuskan dua objek yang dibandingkan adalah karya sastra, misalnya puisi dengan novel, sedangkan mashab yang kedua adalah aliran Amerika yang tidak mengharuskan karya sastra menjadi objek yang dibandingkan, misalnya film dengan novel, lagu dengan puisi, dan lain-lain.

Selain mashab, juga terdapat dua pendapat berbeda mengenai konsep dasar sastra bandingan. Menurut Remak (1990), konsep dasar sastra bandingan adalah membandingkan dua karya yang berasal dari dua negara yang berbeda. Maka, membandingkan dua karya yang berasal dari satu negara tidak dapat dikatakan sebagai sastra bandingan. Hal ini dibantah oleh Nada (1990) yang mengatakan bahwa ia tidak sependapat dengan Remak karena dalam satu negara bisa saja terdapat kebudayaan serta keadaan sosial yang heterogen.

Membandingkan dua buah karya, baik karya sastra dengan sastra, atau karya sastra dengan bentuk karya lain, sebenarnya yang diperlukan hanyalah kejelian serta pengetahuan yang luas mengenai hal-hal di dalam maupun di luar sastra itu sendiri. Pemahaman mendalam mengenai kebudayaan, bahasa, aspek sosial dan politik, hukum, serta psikologis sangat diperlukan sehingga dapat diketahui dengan jelas apa yang menyebabkan dua buah karya mirip atau senuansa.

Hal yang senuansa itulah yang ditemui dalam dua prosa lintas negara, “Karya Seni” (“A Work of Art”) yang ditulis oleh Anton Chekhov dan “Déjà vu Kathmandu” karya Veven S.P. , yang akan dijadikan objek dalam makalah ini. “Karya Seni” yang dialihbahasakan oleh Anton Adiwiyoto ini mengangkat kisah sebuah barang antik yang diberikan seorang gadis kecil sebagai hadiah kepada dokter yang telah berhasil menyembuhkan ibunya. Dokter tersebut, yang tercengang dengan barang yang berupa patung tersebut akhirnya memberikan pemberian si gadis kepada rekannya yang seorang pengacara. Dari situlah konflik dibentuk, sebab sang pengacara juga tercengang dan memberikan patung itu kepada teman lamanya yang seorang pelawak, sampai akhirnya patung antik tersebut kembali ke si gadis.

Sementara itu, “Déjà vu Kathmandu” mengisahkan pertemuan seorang lelaki dan perempuan di tanah Hindustan, yang keduanya sama-sama merasa seakan pernah bertemu, tapi entah di mana. Baik Chekhov maupun Veven, keduanya membawa pembacanya berpetualang dari awal hingga akhir cerita dengan membawa satu pertanyaan yang sebenarnya merupakan hal penting dalam membangun cerita masing-masing. Dalam “Karya Seni”, pembaca terus dibuat bertanya, sebenarnya bagaimakah wujud patung antik yang begitu mencengangkan itu? Sedangkan dalam “Déjà vu Kathmandu”, Veven juga terus membuat pembacanya bertanya kapan sebenarnya mereka berdua pernah bertemu? Hal inilah yang menarik, ketika kuriositas pembaca dijadikan komoditas, ketika rasa penasaran dan keingintahuan menuntut pembaca untuk cepat-cepat menyantap suatu cerita hingga habis.

/2/
Diperlukan sebuah tempat lilin yang indah mempesona untuk meyakinkan mereka –dokter, pengacara dan pelawak – bahwa jauh lebih menyenangkan memberi daripada menerima.” (Pengantar dalam “Karya Seni”)

Sasha Smirnov, anak tunggal seorang pengoleksi barang antik, tak pernah mengira bahwa pemberian sebagai rasa terima kasihnya kepada dokter Koshelkov akan menjadi polemik yang cukup besar bagi beberapa orang di kemudian hari. Pemberian itu, sebuah patung tempat lilin indah peninggalan ayahnya, begitu mengejutkan dokter Koshelkov. Pada mulanya dokter Koshelkov menolak karena meskipun patung tersebut amat indah dan langka, patung tersebut terlalu cabul. Cabul; tak hanya mungkin sedang bertelanjang, melainkan wanita-wanita yang menjadi bagian dari patung tersebut juga melakukan sesuatu yang tak layak. Lucunya, Chekhov, dalam cerita ini, tak hanya tidak menyebutkan pose apakah yang membuat kedua wanita tersebut menjadi terlihat amat cabul, melainkan juga menuliskan komentarnya sendiri terhadap patung yang tak senonoh itu, sehingga keingintahuan pembaca mengenai wujud patung ini semakin besar.

Di atas panggung berdiri dua sosok tubuh wanita memakai busana Ibu Hawa dan dalam sikap yang saya sendiri tidak mempunyai keberanian untuk memerikannya. Kedua wanita ini tersenyum genit dan pada umumnya memberikan kesan kepada orang bahwa seandainya mereka tidak harus menopang lilin, mereka akan turun dari panggung dan melakukan sesuatu yang…pembaca yang baik, saya bahkan malu memikirkannya saja!” (“Karya Seni” dalam Buku Harian Seorang Gila hlm. 9)

Chekhov rupanya tak berhenti di situ, melalui dokter Koshelkov, ia semakin membuat pembaca semakin penasaran sebab dokter Koshelkov pun akhirnya memberikan pemberian itu kepada rekannya seorang pengacara Ukhov. Seperti yang kita duga, Ukhov pun pada awalnya menolak patung yang tidak lazim tersebut. Ukhov yang mulai frustasi akhirnya memutuskan untuk memberikan pemberian tersebut kepada teman lamanya, pelawak Shoskin. “Aku tahu! Sore ini juga aku akan berikan kepada pelawak Shoskin. Bajingan itu menyukai benda-benda seperti ini.” (hlm. 13). Jadi, seburuk apakah sebenarnya patung tersebut, hingga orang yang mungkin menyukai patung tersebut layak dikatakan sebagai bajingan? Pada bagian sebelumnya, dokter Koshelkov juga mengatakan kepada Sasha “Beezelbub sendiri tidak akan bisa memikirkan sesuatu yang lebih buruk lagi” (hlm. 10). Bahkan Beezelbub, raja iblis, sekalipun dikatakannya tak akan bisa memikirkan yang lebih buruk daripada patung itu. Bukankah patung tersebut indah?

Pada akhirnya, Shoskin yang berhasil menolak pemberian Ukhov memberi saran bahwa patung semacam itu lebih baik dijual kepada penjual patung perunggu antik bernama Smirnova. Ukhov, yang tidak menemukan cara lain untuk menjauhkan patung tersebut dari dirinya, mengikuti saran Shoskin untuk menjual patung pada Nyonya Smirnova yang tak lain adalah ibu dari Sasha Smirnov.

Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Sasha Smirnov yang amat senang mendapatkan patung yang identik dengan patung yang pernah diberikannya kepada dokter Koshelkov kembali ke ruang praktik dokter itu dengan wajah berseri sambil membawa patung yang baru saja didapatnya. Sasha Smirnov, dengan cerianya, mengatakan bahwa ia menemukan pasangan dari patung yang pernah diberikannya dan dokter Koshelkov layak mendapatkan patung kedua itu. Cerita pun berakhir dengan dokter Koshelkov yang menganga tanpa sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dan rasa penasaran yang masih belum terbayar di pihak pembaca.

Tidak jauh berbeda dengan Chekhov, Veven S. P. juga memaksa pembacanya untuk terus bertanya mengenai satu hal yang cukup krusial dalam membangun keutuhan cerita tersebut. Xiao Qing, wanita yang berusaha menjauhkan dirinya dari sebuah negara yang tak mau disebutkannya bahkan diingatnya lagi, bertemu dengan Xu Xian, seorang reporter yang sedang bertugas di Kathmandu, India. Pada awal perkenalan mereka, baik Xiao Qing maupun Xu Xian, merasa pernah saling mengenal dekat, entah kapan dan di mana. Hal ini terus mereka ungkapkan sepanjang kebersamaan mereka.

Rasanya pertanyaan itu adalah sebuah pernyataan . aku juga pernah merasakan, sebelumnya kami memang pernah berjumpa. Atau kami malah saling mengenal, kenal dengan dekat bahkan.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil Aku Pheng Hwa)

Rasa penasaran di antara keduanya semakin meningkat setelah mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Pertanyaan-pertanyaan yang sama, mengenai kapan dan di mana kira-kira mereka pernah bertemu, terus saling mereka lontarkan. Sempat mereka berdua cukup sepakat, bahwa mungkin saja mereka adalah reinkarnasi dari Xiao Qing dan Xu Xian, dua nama tokoh legenda Cina yang mereka gunakan sebagai nama samaran, sehingga pada kehidupan selanjutnya, yaitu kehidupan mereka saat ini, mereka merasa pernah mengenal dengan amat dekat.

Xiao Qing adalah nama siluman ular hijau dalam cerita tentang dua siluman ular yang bertapa sampai beratus-ratus tahun memohon pada dewa agar mereka bisa menjelma menjadi manusia. Xu Xian, nama yang kuperkenalkan secara spontan sebagai nama diriku, adalah nama seorang tabib yang kemudian jatuh cinta pada salah satu jelmaan siluman itu. Bai Su-zhen, namanya.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil Aku Pheng Hwa)

Ada yang sedikit misterius dari Xiao Qing, yaitu kebenciannya tehadap suatu negeri yang bahkan tak pernah mau diingatnya. Ingatan buruk tersebut muncul lagi ketika Xiao Qing dan Xu Xian menonton pertunjukan musik yang, menurut Xu Xian, mengingatkannya kepada tanjidor, musik tradisional yang berasal dari negeri yang tak ingin diingat Xiao Qing itu. Hingga bagian ini para penonton tentu saja akan bertanya-tanya Indonesia? Adakah hubungan Indonesia dengan pertemuan Xiao Qing dan Xu Xian yang sebelumnya?

Akan tetapi, Veven rupanya jauh lebih baik hati daripada Chekhov yang membiarkan pembacanya menderita hingga akhir cerita. Hal ini terbukti dari kerelaannya memberi informasi yang amat penting, yaitu perihal apa yang tsebelumnya erjadi antara Xiao Qing dan Xu Xian sehingga mereka dapat merasakan kedekatan yang tidak lazim untuk dua orang yang kemungkinan besar tidak pernah bertemu sebelumnya. Setelah pembicaraan yang menguras emosi antara Xiao Xing dan Xu Xian di kamar hotel, mereka memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan mereka masing-masing seperti sebelumnya. Pada saat itulah, Veven, tanpa melalui tokoh-tokohnya, memberikan pemaparan mengenai hubungan antara Xiao Qing dan Xu Xian.

Kalau saja nanti di Jakarta dia membuka-buka file di komputernya, dia akan menemukan tulisannya mengenai pemerkosaan massal yang pernah terjadi di negerinya. Dalam file yang disimpan. Dalam folder khusus itu, lelaki itu juga mendokumentasikan seorang perempuan yang wajahnya sama persis dengan Xiao Qing. Folder khusus itu menampung sejumlah tulisannya yang ditolak media massa yang tak berkehendak memuatnya.” (“Déjà vu Kathmandu” dalam Panggil aku Pheng Hwa)

Cerita selelsai. Rasa penasaran pembaca terbayar, namun cerita tak pernah selesai bagi tokoh-tokoh di dalamnya; Xiao Qing dan Xu Xian. Mereka berdua tetap menyimpan rasa bertanya-tanya, kapan dan di mana mereka pernah bertemu. Seandainya Xiao Qing dan Xu Xian bisa bertanya seperti pembaca, mereka pastilah akan tetap mencari tahu.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, baik Chekhov dan Veven, sama-sama menghadirkan suatu gaya penceritaan yang mampu mengikat pembacanya hingga akhir cerita. Kuriositas inilah yang menarik perhatian para pembaca, sama seperti ketika kita dihadapkan pada cerita-cerita detektif semacam novel-novel Agatha Christie yang menjengkelkan –terkadang membosankan di bagian tengah, tetapi tak bisa ditinggalkan begitu saja karena jawaban yang ditunggu bisa saja tersembunyi di setiap kata – namun dengan tema yang lebih ringan. Di situlah kesenangan muncul, dalam sebuah cerita yang tak cukup berat namun tak juga ringan, tetapi menyimpan sebuah petualangan tersendiri.

/3/

Dalam cerita pendek “Karya Seni” (“A Work of Art”) karya Anton Chekhov dan “Déjà vu Kathmandu” karya Veven S. P., sama-sama menyajikan cerita dengan beberapa pertanyaan yang hampir tak terjawab, padahal sesuatu yang hilang tersebut kiranya sangat penting dalam membangun keutuhan cerita. Dalam “Karya Seni” kita dipaksa terus ingin tahu mengenai bentuk dari patung milik Sasha Smirnova yang begitu mengagetkan banyak orang. Sementara itu, dalam “Déjà vu Kathmandu”, Veven memaksa kita sebagai pembaca untuk terus tetap membaca hingga akhir cerita, melewati bagian tengah cerita yang sebenarnya tak terlalu ‘mengena’; berjalan-jalan di seputaran Kathmandu dan hampir tertabrak sepeda motor, yang ternyata bukan merupakan konflik yang terlalu berarti, demi mencari jawaban yang mungkin saja terdapat di akhir cerita.

Mengenai kesamaan, keduanya menjadikan rasa penasaran pembaca sebagai sesuatu yang dapat menarik keinginan untuk terus membacanya hingga akhir cerita. Hal inilah, yang dalam makalah ini, menjadi objek dari kajian sastra bandingan itu sendiri. Kuriositas memang selalu berhasil menjadi sesuatu yang menarik, seperti seharusnya.







Sumber
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.
Nugroho, Yanusa (ed.). 1993. Buku Harian Seorang Gila dan Cerita-cerita Lainnya. Jakarta: Mitra Utama.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Werdana, Veven S. P. 2002. Panggil Aku Pheng Hwa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

No comments: