Seusai
pertunjukan wayang, ia tak langsung pulang, melainkan menyusup ke belakang
panggung, mencari sang dalang yang membuatnya pesona semalam suntuk: betapa
sempurna ia memainkan wewayang!
ditemuinya
sang dalang tengah bersandar di antara kotak-kotak perlengkapan; mengisap rokok
aroma cengkih yang asapnya membubung ke langit tak berbatas.
“Aku
cinta kau”, ucapnya membuyarkan lamunan sang dalang, “aku cinta kau hingga
merobek urat dan nadi, menebas rentetan kata dalam bait-bait yang kau lisankan
semalaman dan helaan napas tiada henti.”
Waktu
berhenti. Sang dalang tegap menghadap wanita ayu yang baru saja menyampaikan
isi hatinya yang barangkali saja yang terdalam, yang tiada seorang pun sanggup
mencapainya.
“Aku
cinta kau sebab kau membawaku pada kehidupan yang sejatinya, kau yang membuatku
merasakan bahagia dan airmata, berlarian di padang rumput yang tandus dan
bersembunyi di antara pohonan asoka.”
Sang
dalang kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, membiarkan pahit-harum tembakau
memenuhi rongga dada. “Wanita ini”, gumamnya, “sejak dulu selalu begini.”
Maka
dengan segenap pesonanya sang dalang membuka kotak tempatnya bersandar dan membuat
sedikit celah di dalam kotak yang belum terlalu padat isinya.
Ia
tak peduli airmata mulai membasahi pipi wanita di hadapannya, bahkan ketika ia
menarik tangannya yang selembut sutera, membimbingnya kembali tidur dalam kotak
kayu cemara.
“Banowati,
cintamu selalu salah.”
Juli
2012
No comments:
Post a Comment