Apr 3, 2010

Ragu Sinta di Balik Ragu Rama; Sebuah Ironi


aku memang sengaja masuk jaring-jaring cintamu,
aku suka, aku menikmatinya

(Madewi, Sayangku Cintaku, Heri Latief)

Dalam kisah epik Ramayana yang begitu mendunia, dikisahkan oleh Walmiki suatu perjuangan cinta seorang Rama kepada kekasihnya, Sinta (atau Sita) , yang diculik oleh raksasa bernama Rahwana. Jutaan pasukan kera dikerahkan untuk menolong Sinta yang ditawan di Alengka; gunung didaki, lautan diseberangi. Begitu nyata pengorbanan Rama yang ditunaikan demi mendapatkan Sinta kembali. Sesampainya di Alengka perang pecah. Alengka remuk redam. Rumah-rumah hangus, anak-anak terpisah dengan orangtuanya, banyak nyawa terbunuh baik yang sia-sia maupun tidak. Di akhir cerita Rama menuai hasil, Sinta kembali ke pangkuannya. Akan tetapi, seakan merusak jalan cerita, Rama meragukan kesucian Sinta yang telah tertawan Rahwana. Upacara api suci pun disiapkan untuk membuktikan Sinta masih suci atau tidak.
Meskipun keraguan Rama patut disayangkan, sesuai dengan cerita aslinya, Sinta tetap menunaikan kemauan Rama untuk terjun ke dalam api suci. Dalam hal ini semua orang pasti sepakat bahwa Sinta telah berhasil memerankan tokoh istri ‘penurut’ dan taat kepada suami yang begitu diagungkannya. Bahwa Sinta sempat kecewa dengan keraguan Rama memang benar adanya, seperti yang diceritakan dalam salah satu versi Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin. Kekecewaan tidak hanya dirasakan oleh Sinta, tapi juga oleh Hanoman dan banyak pihak lain yang telah berperan dalam misi penyelamatan Sinta.
Sebagai seorang wanita, rasanya sangat wajar apabila merasa tak berharga ketika kesuciannya diragukan, terlebih oleh orang yang dicintai. Hal inilah yang meskipun tidak secara gamblang diceritakan oleh Ramayana versi manapun, menarik para penyair untuk mengupas perasaan Sinta yang sesungguh-sungguhnya dan menjadikan karakternya bulat.
Dorothea Rosa Herliany, dalam puisinya yang berjudul Elegi Sinta, mengisahkan Sinta yang tidak sudi membakar dirinya ke dalam api suci hanya demi seorang pengecut bernama Rama. Kekecewaan terlihat jelas dari tokoh aku-lirik yang bahkan lebih rela dirinya bermandikan dosa bersama Rahwana daripada kembali pada seorang penakut seperti Rama.

kuburu rahwana
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku

Sinta mencoba melakukan sebuah pemberontakan dari aturan yang berlaku, meskipun saat itu ia sudah berada pada titik nadirnya. Melalui puisi ini, Dorothea menyampaikan bahwa perempuan juga mampu melakukan perlawanan dan bisa menjadi lebih jahat daripada yang bisa dibayangkan. Pada konteks ini kesetaraan gender disinggung, dan sebagai wanita tentunya Sinta tidak mau mengalah begitu saja dengan budaya patriarki yang dalam hal ini menjatuhkan martabatnya. Terlebih lagi, seakan tidak mau ‘kalah ragu’ dengan Rama, dengan tegas Sinta mengatakan siapa bilang cintaku putih? pada bait ke tiga.
Berbicara mengenai keraguan yang dimunculkan Sinta terhadap Rama, Subagio Sastrowardoyo dalam Asmaradana melihat keraguan Sinta bukan lagi atas dasar ‘membalas’ keraguan Rama, akan tetapi justru karena Sinta terlanjur jatuh hati dengan Rahwana. Rahwana, dalam puisi tersebut, digambarkan memiliki pesona yang mampu membuat Sinta rela menyerahkan dirinya.

Dewa tak melindunginya dari neraka
Tapi Sita tak merasa berlaku dosa
Sekedar menurutkan naluri

Sinta sama sekali tidak menyesal atas apa yang dilakukannya, meskipun ia tahu dosa yang ia tanggung begitu besar dan tak ada satu pun yang sanggup menolongnya dari api suci. Pada akhir puisi juga dituturkan bahwa Sinta tak kuasa melupakan sisa mimpi dari sanggama bersama Rahwana serta begitu menikmati petualangan cintanya dengan Rahwana yang begitu lebat bulu jantannya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa sesungguhnya Sinta pun mulai goyah cintanya pada Rama, entah sengaja entah tidak.
Sinta memang sepatutnya memilih jalannya sendiri karena bagaimanapun ia juga seorang manusia yang mempunyai hak untuk mengatur hidupnya tanpa terbelenggu oleh aturan-aturan konvensional: istri harus patuh terhadap suaminya. Hal inilah yang diangkat Sapardi Djoko Damono dalam Sita Sihir yang kental dengan hasrat seorang wanita untuk ‘bebas’.
terbebas juga akhirnya aku –
entah dari cakar Garuda
atau lengan Dasamuka.

Lagi-lagi sebuah keraguan muncul dalam penggalan bait di atas. Sinta yang sudah selamat dari penawanannya ragu atas kebebasan macam apakah yang ia peroleh saat itu. Di satu sisi ia merasa bebas dari cengkeraman Dasamuka (Rahwana), namun di sisi lain ia juga memikirkan kebebasan yang mungkin dapat ia peroleh apabila ia meninggalkan Rama saat itu juga. Perlu diperhatikan bahwa cakar Garuda yang dimaksud di atas adalah pertolongan Jatayu yang memungkinkan dirinya selamat pada saat Rahwana menculiknya dan kembali pada Rama. Jadi, pada saat itu, di dalam benak Sinta terjadi sebuah dilema: apakah ia harus kembali pada Rama atau Rahwana.
Sesuai dengan ‘aturan yang berlaku’, Sinta harus terjun ke dalam api dan terjawablah semua keraguan Rama. Akan tetapi Sinta ingin juga terbebas dari sihir Rama yang seakan memaksakan jalan hidupnya agar selalu ‘berada di dalam garis Rama’. Sungguh merupakan sebuah ironi menyaksikan adanya keraguan di balik keraguan. Melihat pengorbanan Hanoman beserta pasukannya yang begitu besar, perjuangan tersebut seakan sia-sia dan tak ada artinya. Terlebih dalam Sita Obong karya Soni Farid Maulana, Rama harus menelan pil pahit bahwa Sinta telah ternodai Rahwana dan menimbulkan suatu pertanyaan besar bagi Hanoman:

yang kutahu sekaligus tidak aku mengerti,
bisik Hanoman: hanya satu, Gusti,
banyak orang rela mati karenanya
tak peduli terang atau gelap
jalan yang dijelang
Atas keraguan dari Rama maupun Sinta, Hanoman pun kecewa. Di pihak Sinta ia menyayangkan Rama yang menuntut kepentingan pribadi setelah banyak mengorbankan kepentingan umum, namun di pihak Rama juga ia menyayangkan Sinta yang ‘berhasil’ disetubuhi Rahwana.
Keraguan Sinta yang berkejar-kejaran dengan keraguan Rama seperti sebuah lingkaran setan yang tak ada habisnya. Bagaimanapun Rama sebagai seorang suami pasti menginginkan yang paling sempurna dari istrinya dan tidak rela apabila kesayangannya itu ternoda oleh orang lain, namun Sinta sebagai istri juga menginginkan independensi dan tidak mau teraniaya oleh aturan yang membelenggu. Dari segi feminisme, Sinta ingin dirinya sebagai perempuan tidak hanya dipandang sebagai obyek seksualitas belaka yang lebih dijunjung keperawanannya daripada harga diri dan cintanya.


cinta buatku lebih baik dipercaya
tak perlu buang waktu menyelidikinya

(Membalas Surat Cinta kepada Penyair, Idaman Andarmosoko)

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo.
Damono, Sapardi Djoko. 1998. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Herliany, Dorothea Rosa. 2006. Santa Rosa. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Grafitti.
Maulana, Soni Farid. 2004. Tepi Waktu Tepi Salju. Bandung: Kelir.
Sambodja, Asep (ed.). 2005. Les Cyberlettres: Antologi Puisi Cyberpunk. Jakarta: Yayasan Multimedia Sastra.
Sastrowardoyo, Subagio. 1995. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta: Grasindo.
Sindhunata, 1983. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: PT. Gramedia.
Rajagopalachari, Sri C. 2008. Ramayana. Yogyakarta: Ircisod.

No comments: