Apr 3, 2010

Mengintip Kekejaman Zaman melalui Diskusi Dua Buku Penyair LEKRA


Empat puluh lima tahun yang lalu, tepatnya Oktober 1965 hingga Maret 1966, terjadi tragedi paling mengenaskan dalam sejarah bangsa Indonesia. Paska penumpasan PKI dan penemuan jenazah tujuh pahlawan Indonesia di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, yang hingga saat ini masih terkenal dengan peristiwa G30S/PKI, dikeluarkanlah Surat Keputusan No.1/3/1966 oleh Soeharto yang menyatakan PKI merupakan organisasi terlarang di Indonesia dan harus dibubarkan hingga ke akar-akarnya.
Peristiwa tersebut masih sangat jelas terekam di memori seluruh rakyat Indonesia, pun dengan generasi muda, yang walaupun tidak merasakan dampak dari peristiwa tersebut secara langsung, tetap mempelajarinya sebagai sebuah sejarah di buku pelajaran mereka. Maka diketahuilah bahwa pada peristiwa itu Soeharto dkk yang menjadi ‘penyelamat’nya, dan PKI pun musnah, termasuk gerakan-gerakan di bawahnya seperti Gerwani, dan lain-lain.
Ironisnya, di balik rangkaian sejarah yang telah kita pelajari sejak Sekolah Dasar itu, ternyata ada suatu hal yang tidak kita ketahui, lebih tepatnya tidak pernah kita pelajari dan masuk ke dalam buku pelajaran kita, entah sengaja atau tidak. Ternyata pada tahun yang telah saya sebutkan di awal tulisan, terjadi pembantaian besar-besaran di negeri ini. Penumpasan PKI hingga akar-akarnya menjadi tidak terkendali hingga tak sedikit pihak yang tidak terkait pun turut menjadi korban.
Sebanyak lebih dari dua juta jiwa (yang korbannya sendiri tidak jelas) terbunuh dalam pembantaian tersebut. Pun dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang belum lama ini baru saya ketahui bahwa mereka merupakan sebuah ikatan aktivis wanita, bukan sekelompok wanita bersanggul namun sadis yang membawa celurit dan konon ikut berperan dalam penyiksaan tujuh pahlawan seperti yang selama ini saya baca di buku pelajaran. Mereka mengalami nasib yang naas karena selain disiksa, juga diperkosa secara terus menerus selama masa tahanan, yang jika dipikir-pikir lebih baik mati dibunuh daripada diperlakukan layaknya perempuan tanpa harga diri.
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang kebetulan berafiliasi dengan PKI pun bernasib sial, mereka ikut ditangkap dalam penumpasan tersebut. Selain itu, karya-karya mereka pun diberedel bahkan dimusnahkan karena dianggap ‘berbau komunis’. Status mereka memang tawanan politik (tapol), namun dengan status tersebut bukan berarti mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda di dalam bui. Selama masa penahanan mereka diperlakukan layaknya orang buangan dan kerap kali disiksa.
Sebut saja beberapa nama seperti Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Sabar Anantaguna, dan Sutikno W. S. Mereka merupakan segelintir dari sekian banyak sastrawan Lekra yang ‘tidak tahu menahu’ namun terkena dampak penumpasan tersebut. Selama masa tahanan pun mereka akrab dengan apa yang disebut dengan penyiksaan, kelaparan, kerja paksa, serta sel kecil tempat mereka melakukan berbagai aktivitas dari makan hingga buang air.
Pada tahun 1970 akhirnya para tapol termasuk sastrawan-sastrawan Lekra dibebaskan melalui pembebasan besar-besaran sebagai syarat cairnya bantuan internasional untuk pemerintah Indonesia. Paska pembebasan tersebut, bukan berarti para eks-tapol mendapatkan kebebasan mutlak, mereka masih diwajibkan untuk melakukan wajib lapor hingga tahun 1997. Selain itu, diskriminasi juga dirasakan oleh anak cucu mereka. Sebagai contoh, sebagaimana yang kita tahu bahwa anak cucu dari mereka yang terlibat dalam gerakan PKI tersebut dilarang bekerja pada instansi negara seperti yang terdapat dalam Kepres No.16/1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri RI.
Padahal jika dipikirkan lebih dalam, sebenarnya mereka tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu karena mereka tidak terlibat secara langsung, bahkan mereka tidak pernah meminta dilahirkan sebagai keturunan ‘pelaku’ tragedi itu. Bukankah di dalam undang-undang juga tertulis bahwa setiap warga Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang layak?
Hal semacam ini juga terjadi pada para sastrawan Lekra yang telah disebutkan di atas. Sabar Anantaguna menjalani hukuman selama 13 tahun dan selama itu di sela-sela siksaan lahir dan batin yang dialaminya, ia menulis sajak-sajak pendek dan panjang berkisar kehidupannya selama masa tahanan. Dalam sajak-sajaknya yang kemudian dibukukan dalam antologi Puisi-Puisi dari Penjara ini, ia banyak mengungkapkan kerinduannya pada sang kekasih, mimpi-mimpinya atas kebebasan, dan dendamnya kepada rezim Orde Baru yang hanya terungkapkan melalui tulisannya.
Bahwa cinta itu setia dan di balik kesusahan pasti ada kesenangan dapat kita temui dalam puisi-puisinya yang indah namun penuh semangat akan masa depan. Sabar Anantaguna juga menggambarkan keadaan pada masa penahanannya dengan detail hingga coretan-coretan kecil di tembok, sehingga melalui puisinya kita mampu ‘terbawa’ ke masa-masa suram tersebut.
Begitu juga dengan Sutikno W. S yang tetap menulis di sela-sela hukumannya yang berjangka waktu sepuluh tahun tersebut. Kumpulan sajaknya yang dibukukan dalam Nyanyian dalam Kelam juga mampu menyihir para pembacanya untuk turut merasakan penderitaan yang ia kecap.
Kedua sastrawan tersebut (dan para sastrawan Lekra lainnya yang menjadi ‘korban’) mungkin tidak seberuntung sastrawan-sastrawan lain yang namanya terdaftar dalam sejarah sastra Indonesia dan masuk ke dalam buku pelajaran pengantar sastra untuk dihafal, namun karya mereka yang ‘bermandikan kenyataan’ tidak kalah hebat dengan sastrawan-sastrawan lainnya.
Sangat memprihatinkan ketika saya mendapat kesempatan ‘melihat’ Pak Sabar Anantaguna secara langsung, beliau menggunakan tas samping berwarna lusuh yang telah robek. Meskipun sepele, hal tersebut memberikan gambaran bagi saya betapa ganasnya Orde Baru. Padahal, dengan karya seperti itu baik Pak Sabar maupun Pak Sutikno berhak mendapatkan hasil yang lebih dari apa yang mereka dapatkan saat ini.
Masih merupakan ironi mengapa hal semacam ini tidak dipelajari di sekolah. Bagaimanapun, sejarah harus dibuka agar ‘yang tidak tahu tidak menjadi semakin bodoh’ dan ‘yang tahu tidak merasa semakin tertipu’.

No comments: